MADILOG
Tan Malaka (1943)
SEJARAH MADILOG
Ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata Cililitan Jakarta. Disini
saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943,
mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun
ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog, ialah lebih kurang 8
bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720
jam, ialah kira-kira 3 jam sehari.
Buku yang lain ialah Gabungan Aslia sudah pula setengah di tulis. Tetapi
terpaksa ditunda. Sebab yang pertama karena kehabisan uang. Kedua sebab sang
Polisi, Yuansa namanya diwaktu itu, sudah 2 kali datang memeriksa dan
menggeledah rumah lebih tepat lagi “pondok’’ tempat saya tinggal. Lantaran
huruf madilog dan Gabungan Aslia terlampau kecil dan ditaruh di tempat yang
tiada mengambil perhatian sama sekali, maka terlindung ia dari mata polisi.
Terpeliharalah pula kedua kitab itu dan pengarangnya sendiri seterusnya dari
mata dan tongkat kempei Jepang.
Lantaran hawa kediaman saya itu sudah agak panas dan bahaya kelaparan sudah
mengintip, maka terpaksalah saya memberhentikan pekerjaan saya meneruskan
menulis Gabungan Aslia. Saya bertualang di daerah Banten mencari nafkah sambil
memperlindungkan diri pula.
Akhirnya saya dapat pekerjaan tetap di Tambang Arang, Bayah. Disinilah saya
mendapat pekerjaan sedikit lebih tinggi dari romusha biasa, (maklumlah orang
tak punya diploma dan surat keterangan!) sampai menjadi pengurus semua romusha
dan penduduk kota Bayah dan sekitarnya dalam hal makanan, kesehatan,
pulang-pergi dan sakit matinya romusha ribuan orang, dengan perantaraan kantor
urusan prajurit pekerja.
Sebagai ketua Badan Pembantu Pembelaan (BPP) dan Badan Pembantu Prajurit
Pekerja (BP3), saya akhirnya sampai dipilih menjadi wakil daerah Banten ke
kongres Angkatan Muda yang dijanjikan di Jakarta, tetapi tak jadi itu (bulan
Juni 1945). Disinilah saya berjumpa dengan pemuda seperti Sukarni, Chairul
Saleh, dll. yang sekarang mengambil bagian dalam pergerakan Persatuan Perjuangan.
Juga dengan pemuda lainnya umpamanya seorang jurnalis yang amat dikenal di
sekitar Bayah ketika itu, tak lebih dan tak kurang dari Bang Bejat, alias Anwar
Tjokroaminoto dan saudaranya. Resan minyak ke minyak, resan air ke air, kata
pepatah.
Demikianlah pengarang ini yang pada masa Jepang itu memperkenalkan dirinya
dengan nama ILJAS HUSSEIN, dengan jalan memutar sampai juga ke golongan yang
dicari yang mulai mengambil bagian besar dalam pergerakan kemerdekaan
Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, ialah golongan pemuda. Pekerjaan
revolusioner di samping pemuda itu sampai sekarang terus berlaku, yakni
Persatuan Perjuangan yang sudah mulai menulis sejarah. Atas permintaan pemuda
pulalah Madilog sekarang akan disebarkan di antara mereka yang rasanya sanggup
menerimanya.
Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan, di bawah sayapnya pesawat
Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya.
Madilog ikut lari bersembunyi ke Bayah Banten, ikut pergi mengantarkan romusha
ke Jawa tengah dan ikut menggeleng-geleng kepala memperhatikan proklamasi
Republik Indonesia. Di belakang sekali ikut pula ditangkap di Surabaya bersama
pengarangnya, berhubung dengan gara-gara Tan Malaka palsu………………bahkan hampir
saja Madilog hilang.
Baru 3 tahun sesudah lahirnya itu, Madilog sekarang memperkenalkan dirinya
kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan
otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan keras buat
memahamkannya.
TAN MALAKA
Lembah Bengawan Solo, 15 Maret 1946.
1937, tiga hari lamanya saya terkepung di belakang jalan bernama
"North Su Chuan Road’’, tepat di tempat peperangan pertama meletus. Dari North
Su Chuan Road tadi Jepang menembak kearah Pao Shan Road dan tentara Tiongkok
dari sebaliknya. Di antaranya di kampung Wang Pan Cho saya dengan pustaka saya
terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin kepada kampung
tempat saya tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman dalam
waktu 5 menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah pustaka saya
mesti tinggal. Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni
sesudah sebulan lamanya, maka sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah
rapinya "lalilong’’ alias tukang copet bekerja. Hal ini tidak membikin
saya putus asa. Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali.
Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.
Sampai saya ditangkap di Hongkong pada 10-10-1932, saya sudah punya satu
peti pula. Sesudah dua bulan di dalam penjara, saya dilepaskan buat
dipermainkan seperti kucing mempermainkan tikus. Maka dekat Amoy, saya
bisa melepaskan diri. Tetapi dengan melepaskan pustaka saya sendiri. Pustaka
saya, tanpa saya, berlayar menuju ke Foechow. Saya terlepas dari bahaya, tetapi
juga terlepas dari pustaka. Saya berhasil menyamar masuk ke Amoy dan terus ke
daerah dalam Hok Kian tiga-empat-tahun lamanya, terputus dengan dunia luar sama
sekali, beristirahat, berobat sampai sembuh sama sekali.
Pustaka baru yang saya kumpulkan di Amoy dari tahun 1936 sampai 1937, juga
sekarang, juga sekarang terpendam disana, ketika tentara Jepang masuk pada
tahun 1937. Malah dua tiga buku-buku peringatan yang penting sekali yang
bahannya diperoleh dengan mata sendiri, ialah: catatan penting, buat buku-buku
yang sekarang saya mau tulis, mesti saya lemparkan ke laut dekat Merqui,
sebelum sampai di Ranggoon.
Putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan duka cita
sekali. Tetapi putusan itu belakangan ternyata benar. Duanne Ranggoon memeriksa
buku-buku saya yang masih ada dalam peti seperti "English Dictionary’’
dengan teliti sekali, malah kulitnya diselidiki betul-betul. Kantongpun tak
aman. Di antara Merqui dan Ranggoon di pantai laut, disanalah terletak beberapa
buku peringatan cukup dengan rancangan, catatan dan suggesti atau nasehat buat
pekerjaan sekarang.
Dalam permulaan 3 tahun di Singapura saya amat miskin sekali. Gaji yang
diperoleh sedikit sekali - enam setengah rupiah sebulan.
Dengan tak ada diploma-Singapura, tak lahir di Singapura, memakai pasport
Tiongkok, walaupun bisa bercakap Tionghoa, tetapi tiada bisa membaca huruf
Tionghoa susah mendapat kerja yang berhasil besar pada perusahaan Tionghoa.
Susah pula mendapat izin mengajar bahasa Inggris dari tuan Inspektur, sedangkan
masyarakat Indonesia tak berarti sama sekali di bekas kota "Tumasek’’
(nama Singapura sekarang di Jaman Majapahit) Ini uang buat makan secukupnya
saja, pakaian jangan disebut lagi. Masuk jadi anggota pustaka (Library) tiada
mampu. Disini pengetahuan saya walaupun kesehatan sempurna kembali, cuma bisa
ditambah dengan isi surat kabar, dan pengamatan mata dan telinga sendiri.
Tetapi lama kelamaan atas usaha sendiri saya mendapatkan pekerjaan dan hasil
pekerjaan yang baik sekali.
Seperti saya sebut diatas, akhirnya saya dapat bekerja pada sekolah Normal
Tinggi (Nanyang Chinese Normal School) sebagai guru Inggris dan belakangan juga
sebagai guru Matematika dalam dan luar sekolah tersebut. Saya mulai kumpulkan
catatan buat buku-buku yang mau saya tulis sekarang. Rafles Library memberi
kesempatan dan minat yang besar. Buku yang paling belakang saya pinjam ialah
Capital, Karl Marx. Tetapi armada udara Jepang tak berhenti datangnya
hari-hari. Sebentar-sebentar saya mesti lari sembunyi. Cuma dalam lubang
perlindungan saya bisa baca Capital, buat mengumpulkan bahan yang sebenarnya
saya ulangi membacanya. Sampai 15 Febuari 1942 saya masih pegang Capital itu
dengan beberapa catatan. Tetapi sesudah Singapura menyerah, semua penduduk
laki-perempuan, tua-muda dihalaukan dengan pedang terhunus kiri-kanan, dengan
ancaman tak putus-putusnya menuju ke satu lapangan. Disini ratusan penduduk
Tionghoa ditahan satu hari buat diperiksa. Disini saya juga turut menghadapi
senapan mesin. Di belakang hari kami mendengar bahwa maksud tentara jepang yang
bermula ialah memusnahkan semua penduduk Tionghoa yang ada di Singapura. Tetapi
dibatalkan oleh pihak Jepang yang masih mempunyai pikiran sehat dan rasa
tanggung jawab terhadap dunia lainnya.
Sebelum kami dikirim ke padang tersebut, saya sudah maklum bahwa tak ada
pelosok rumah atau halaman rumah yang mesti kami tinggalkan selama pemeriksaan
diri dijalankan, yang kelak akan dilupakan oleh Kempei Jepang. Sepeninggalan
kami rumah tempat saya tinggal diperiksa habis-habisan. Barang berharga habis
di copet.
Sebelum meninggalkan rumah menuju ke lapangan pemeriksaan saya beruntung
mendapat kesempatan menyembunyikan buku Capital ke dalam air. Di "upper Seranggoon
Road’’ di muka rumah tuan Tan Kin Tjan, disanalah sekarang di dalam tebat
(empang) bersemayam buku Capital terjemahan "Das Kapital’’ ke bahasa
Inggris, pinjaman saya, Tan Ho Seng, dari Raffles Library di Singapura.
Sesudah dua atau tiga minggu Singapura menyerah, saya coba dengan perahu
menyebrang ke Sumatra, tetapi gagal karena angin sakal. Saya terpaksa mengambil
jalan Penang-Medan. Hampir dua bulan saya di jalan antara Singapura dengan
Jakarta, melalui semenanjung Malaka, Penang, selat Malaka (perahu layar) Medan,
Padang, Lampung, selat Sunda (perahu) dan Jakarta. Di jalan saya bisa beli buku
karangan Indonesia. Di antaranya Sejarah Indonesia, yang mesti saya sembunyikan
pula baik-baik, sebab dalamnya ada potret saya sendiri.
Inilah pustaka saya dulu dan sekarang. Ada niatan buat membeli sekarang,
tetapi banyak keberatan. Pertama uang, kemudian banyak buku mesti datang dari
luar negeri, dan ketiga dari pada dicatat dari satu atau dua buku lebih baik
jangan dicatat atau catat dari luar buku ialah ingatan sama sekali, seperti
maksud saya tentang Madilog ini. Biasanya buku-buku reference yang dipetik,
atau pustaka itu ditulis di bawah pendahuluan. Biasanya diberi daftar pustaka
yang dibaca oleh pengarang. Tetapi dalam hal saya, dimana perpustakaan tak bisa
dibawa, saya minta maaf untuk menulis pasal terkhusus tentang perpustakaan itu.
Dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini
semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang pengarang atau
penulis manapun juga dan berapapun juga adalah murid dari pemikir lain dari
dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi
oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri.
Ada lagi! Walaupun saya tidak akan dan tidak bisa mencatat dengan persis
dan cukup, perkataan, kalimat, halaman dan nama bukunya, pikiran orang lain
yang akan dikemukakan, saya pikir tiada jauh berbeda maknanya dari pada yang
akan saya kemukakan.
Al Gazali pemikir dan pembentuk Islam, kalau saya tiada keliru pada satu
ketika kena samun. Penyamun juga rampas semua bukunya. Sesudah itu Al Gazali
memasukan semua isi bukunya ke dalam otaknya dengan mengapalkannya. Bahagia
(gunanya) mengapal itu buat Al Gazali, sekarang sudah terang sekali kepada
kita.
Pada masa kecil memang saya juga mengapal, tetapi bukan dalam bahasa ibu,
melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal,
saya sesali dan saya bantah kebisaan saya itu. Pada ketika itu saya sadar,
bahwa kebiasaan mengapal itu tiada menambah kecerdasan, malah menjadikan saya
bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya ingat bukan lagi arti sesuatu kalimat,
melainkan bunyinya atau halaman buku, dimana kalimat tadi tertulis. Pula kalau
pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa diapalkan lagi. Tetapi
saya juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada dalam otak. Begitulah
saya ambil jalan tengah: padu yang baik dari kedua pihak.
Apalkan, ya, apalkan, tetapi perkara barang yang sudah saya mengerti betul,
saya apalkan kependekan "intinya’’ saja. Pada masa itulah di sekolah Raja
Bukit Tinggi, saya sudah lama membikin dan menyimpan dalam otak, perkataan yang
tidak berarti buat orang lain, tetapi penuh dengan pengetahuan buat saya.
Buat keringkasaan uraian ini, maka perkataan yang bukan perkataan ini, saya
namakan "jembatan kedelai’’ (ezelbruggece) walaupun tidak sama dengan
ezelbruggece yang terkenal. Buat menjawab pertanyaan siapa yang akan menang di
antara dua negara umpamanya, saya pakai jembatan keledai saya :
"AFIAGUMMI’’.
A huruf yang pertama mengandung perkataan Inggris, ialah (A)rmament.
Artinya ini kekuatan udara MADILOG
Tan Malaka (1943)
PENDAHULUAN
IKLIM
Mokojobi, 15-6-2602. tanggal opisil kini, waktu saya menulis “Madilog’’.
Dalam perhitungan “tuan’’ yang sekarang sedang jatuh dari tahta pemerintahan
Indonesia itu bersamaan dengan Donderdag Juli 15, 1942. Murid bangsa Indonesia
yang bersekolah Arab dekat tempat saya menulis ini, menarikkan pada hari kamis,
bulan Radjab 30, 1362.
Semua itu memberi gambaran, bahwa Indonesia sebenarnya belum bertanggal
berumur sendiri. Indonesia tulen belum timbul dari tenggelamnya berabad-abad
itu.
11 Juli 1942 petang, saya sampai di Jakarta. Saya meninggalkan Telokbetong
pada 7 Juli. Rupanya sama dengan tanggal Ir Sukarno meninggalkan Palembang.
Tetapi ada perbedaan. Kapal yang saya tumpangi cuma perahu layar tak lebih dari
4 ton, tua dan bocor walaupun namanya merdu bunyinya "Sri Renyet’’. Perahu
layar ini sama sekali menjadi permainan angin saja. Kalau angin dari belakang
majulah dia. Kalau dari muka berlabuhlah dia, walaupun dekat karang, kalau dia
tak mau dibalikkan kembali atau ditenggelamkan. Kapal Ir. Sukarno kabarnya
ditarik oleh kapal motor Jepang. Sebab itu walaupun sama waktu berjalan dan
saya dua kali lebih dekat dari Ir. Sukarno ke tempat yang dituju, saya dua kali
selama dia di jalan baru sampai.
Ada lagi perbedaan. Walaupun pembuangan saya dua kali pula selama
pembuangan Ir. Sukarno yang 10 tahun itu dan saya sebetulnya bukan dikembalikan
dengan resmi, melainkan kembali sendiri saya belum boleh bekerja dengan
terbuka. Sedangkan Ir. Sukarno sudah "diberi’’ izin buat membikin
"propaganda’’. Dalam "Sinar Matahari’’ diterbitkan oleh Kepala Bagian
Umum dari barisan propaganda Dai Nippon Palembang dalam No. 49, Kayobi atau
Selasa, 23-6-2602, dalam artikel "Di Barisan Depan’’ tuan Sukarno menganjurkan
pada Rakyat Indonesia bekerja bersama-sama sekuat-kuat tenaga dengan Dai
Nippon. Sebab, hanya dengan bekerja bersama-sama dengan Nippon, kita akan dapat
mencapai cita-cita kita Indonesia Raya dalam lingkungan Asia Raya’’. Senin 13
Juli (jangan takut sama angka 13), Ir. Sukarno berjabatan tangan dengan Drs.
Muhammad Hatta pemimpin Nasionalis Indonesia yang setingkat tingginya dengan
Ir. Sukarno sama-sama cerdik pandai, terpelajar, berani, tahan dan rela
menderita kesukaran hidup, yakni sampai Jepang masuk.
Disamping gambar tertulis : “Ir. Sukarno dan Drs. Muhammad Hatta berjabatan
tangan sebagai pengakuan bekerja bersama-sama guna masyarakat.”
Dengan hampa tangan saya cari tulisan kedua pemimpin tadi yang bersangkutan
dengan persoalan. 1. bagaimana tata negara Asia Raya, 2. Bagaimana kedudukan
Indonesia Raya dalam Asia Raya cetakan militer Jepang itu, 3. Bagaimana
tata negara Indonesia Merdeka sendiri, 4, 5…………ad.infinitum, yakni tidak
berhenti seterusnya …………Kesimpulan: kedua pemimpin nasionalis sudah mulai menjalankan
cita-citanya, ialah di bawah ujung pedang Samurai.
Akhirnya perbedaan yang ketiga. Sedangkan kedua pemimpin tersebut disambut
dengan kegirangan oleh pengikutnya secara resmi, seperti "bever’’
(berang-berang – catatan editor) yang terkenal tinggal di lubang yang
dibikinnya di bawah air itu, saya masuk mesti memakai segala anggota keawasan,
yang memang sudah terlatih dalam pelarian yang lebih dari 20 tahun lamanya.
Apabila kelak sudah pasti bahwa golongan (klas) yang saya pertahankan selama
ini boleh menjalankan haknya, maka barulah kelak saya akan meninggalkan
"sarang’’.
Tetapi sarang sekarang memang lebih baik tempatnya dari yang sudah-sudah.
Letaknya tidak lagi di Tiongkok atau di tepi tapal batas Jajahan Belanda,
walaupun di Indonesia juga seperti 4 tahun yang lalu, tetapi di tengah-tengah
Rakyat dan kaum yang sebentuk badan dan mukanya dengan saya dan yang lekas saya
bisa mengerti perkataan dan tingkah lakunya. Tetangga saya tiada lagi cerewet
mencampuri, siapa saya, dan dari mana saya datang sebab bentuk badan, muka dan
bahasa semuanya sama………..
Dari sini saya bisa mempelajari sikap dan perbuatan tentara Jepang, serta
sikap dan perbuatan pemimpin Indonesia Raya dalam lingkungan Asia raya. Tetapi
saya tiada boleh mengharapkan lebih dari mempelajarinya saja.
Saya kenal Rakyat Jelata Jepang di masa damai. Mereka tahu membedakan yang
buruk dengan yang baik tentang hal yang datang dari barat. Mereka bersifat
berani dan berlaku ramah tamah terhadap bangsa lain. Tetapi tentara Jepang yang
sekarang mengawasi musuh dengan pedang terhunus, dan sering hilang kesabaran
terhadap kaum pekerja bangsa Indonesia, tiadalah satu organisasi yang patut
diajak berembuk tentang politik yang berdasarkan ke-proletar-an.
Ketua Kota Jakarta (H. Dachlan Abdullah) ini duduk sebangku dengan saya,
ketika belajar di Indonesia dan sering sekamar tidur dan makan di Indonesia dan
Eropa. Drs Mohammad Hatta bukan asing buat saya. Saya belum bertemu muka dengan
Ir. Sukarno. Tetapi perkataan simpati terhadap saya dulu banyak saya baca. Ketiganya
mereka ada disini, dekat dan kalau saya menemui mereka, saya bisa ambil kembali
uang saya yang dulu tersimpan dalam Bank Belanda (Javasche Bank) sebelum pergi
keluar negeri. Saya bisa longgarkan kehidupan saya, dijumpai keluarga saya yang
masih hidup dan cari kuburan ibu dan bapa yang keduanya meninggal di waktu saya
bertualang. Tetapi tentu susah, mungkin mustahil buat saya melalui pagar Besi
Dai Nippon berkeliling rumah mereka. Seandainya bisa, tentulah "sarang’’
saya tak akan aman lagi …………..
Begitulah iklim, suasana politik ketika saya mulai melahirkan
"Madilog’’ di atas kertas. Saya berada di tengah-tengah rakyat Jelata
Indonesia, dekat keluarga dan para sahabat. Tetapi keadaan dan paham saya
memaksa saya tinggal sendiri di tengah-tengah masyarakat yang sering
menyebut-nyebut nama, tetapi tak mengenal rupa saya.
Terbitlah mulanya pertanyaan dalam diri saya; buku manakah yang pertama
mesti ditulis yang paling cocok dengan keadaan diri dan luar diri saya.
Ada tiga buku yang sudah bertahun-tahun saya kandung dalam fikiran, tetapi
belum bisa dilahirkan.
1. Undang kaum Proletar berpikir, yang
sekarang saya namai Madilog.
2. Federasi Aslia ialah potongan dari
Asia-Australia, yakni Federasi dari segala Negara pada jembatan antara Asia dan
Australia dengan kepalanya di Asia dan Australia.
3. Beberapa pengalaman saya yang boleh
menjadi pengetahuan dan nasehat buat mereka yang suka menerima.
Dalam keadaan biasa, ketiganya boleh dicetak pada satu waktu, yaitu
berdikit-dikit. Karena memang isinya sudang dikandung, Cuma belum diatur sebab
waktu dan tempat selamanya ini tak mengijinkan buat melahirkan.
Dalam hal menghasilkan buah fikiran, kita juga berjumpa dengan soal-soal
seperti yang dijumpai kalau orang menghasilkan barang dagangan. Orang tidak
saja mesti memikirkan perkara belanja (ongkos) buat menghasilkan, tetapi juga
perkara permintaan orang ramai (demand). Ongkos boleh saya cari. Di Tiongkok
saya mempunyai pencaharian sendiri. Ketika kapal terbang Jepang sampai di Amoy
penghabisan bulan Agustus 1937, saya mesti tinggalkan "School of Foreign
Languages’’ yang saya dirikan sendiri, yang pesat majunya itu. Saya mesti
pindah ke Selatan, terutama sebab semua murid saya lari dan penduduk Amoy
cerai-berai.
Di Singapura dalam masyarakat Tionghoa dengan nama dan pasport Tionghoa
(sudah tentu di luar pengetahuan Inggris yang asik mencium jejak saya), saya
beruntung bisa memanjat dari sekolah rendah sampai kepala sekolah menengah
tinggi yang tertinggi di Asia Selatan, yaitu Nanyang Chinese Normal School
(NCNS). Disini saya menyamar sebagai Tan Ho Seng jadi guru bahasa Inggris,
sampai sekolahnya ditutup ketika Jepang masuk. Jadi kalau perkara ongkos saja
saya dapat mencetak buku-buku yang perlu. Pendapatan (uang) saya sebagai guru
inggris siang dan malam lebih dari cukup buat diri sendiri.
Tetapi perkara pembagian ada lain hal. Ini rapat bergantung pada kekuatan
di luar diri saya.
Walaupun dari tahun 1925-1935 otak saya seolah-olah lumpuh, karena
kesehatan sangat terganggu, tetapi karena permintaan ramai ada keras, saya,
dalam kesehatan dan keamanan hidup amat terganggu dan terpaksa saja lari
kesana-sini, bisa juga mencetakkan "Naar de Republiek Indonesia’’,
"Massa Aksi’’ dan "Semangat Muda’’. Semuanya perlu buat nasehat para
pergerakan di Indonesia.
Sukarnya perhubungan dan jauh tempat saya, maka sedikit sekali buku-buku
itu sampai di tangan yang mempertanggung jawabkan di Indonesia. Barangkali 99 %
dari semua buku tersebut masih cerai berai atau lapuk di luar Indonesia. Tetapi
di mana sampai, hasilnya ada juga menyenangkan.
Demikianlah sesudah saya sendiri ditangkap di Hongkong pada penghabisan
tahun 1932 – inilah yang ke-3 kali – dan semua teman seperjuangan ditangkap di
Singapura dan di-Digulkan (diasingkan – catatat editor) maka perhubungan saya
dengan sahabat dan teman seperjuangan di semua tempat sama sekali terputus.
Beberapa kali saya coba mengadakan perhubungan dengan Rakyat Indonesia dari
Singapura, tetapi semuanya itu gagal. Di Singapura dari tahun 1937 sampai 1942
saya saksikan dan sedihi bagaimana besarnya kesukaran yang dihadapai oleh
Rakyat dan proletar dalam hal mendirikan susunan politik, terlebih-lebih pula
dalam hal mengatur susunan tersembunyi. Jauh terbelakangnya Indonesia dalam hal
mengatur susunan tersembunyi dari Tiongkok umpamanya.
Saya percaya permintaan kepada buku-buku ada cukup keras serta nafsu dan
keberanian buat mencari atau membagikan buku-buku terlarang cukup besar, tetapi
Rakyat Indonesia belum lagi sanggup mengatasi tamparan reaksi Belanda.
Percumalah kalau buku itu dicetak, walaupun semua alat pencetak dan ongkos bisa
didapat. Berhubung dengan itu terpaksalah saya mengundurkan maksud saya,
bertahun-tahun sampai sekarang.
Banyak Proletar mesin (baca buruh industri – catatan editor) dan tanah
(baca buruh pertanian – catatan editor) di Indonesia dan kekuatannya yang
tersembunyi memang sudah cukup kuat buat merebut kekuasaan dari imperialisme
Belanda. Tetapi didikannya masih sangat tipis dan tiada cocok dengan keperluan
dan kewajiban klasnya di hari depan. Mereka kekurangan pandangan dunia (Weltanschauung).
Kekurangan Filsafat. Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahyul
campur aduk. Mereka tiada sadar akan kekuasaan klasnya. Belum insyaf sendiri,
bahwa tak dengan pertolongan proletar mesin, semuanya percobaan buat merebut
dan membentuk Indonesia merdeka adalah perbuatan sia-sia belaka. Dua puluh
tahun dulu saya sudah yakin akan kekuatan kaum proletar yang tersembunyi itu.
Kini tiada kurang malah lebih yakin dari itu.
Filsafat kaum proletar memang sudah ada, yaitu di barat. Tetapi dengan
menyalin semua buku dialektis-materialisme dan menyorongkan buku-buku itu pada
proletar Indonesia kita tiada akan dapat hasil yang menyenangkan. Saya pikir
otak proletar mesin Indoensia tak bisa mencernakan paham yang berurat dan
tumbuh pada masyarakat Indonesia dalam hal iklim, sejarah, keadaan jiwa dan
idamannya.
Proletar Indonesia mesti setidaknya dalam permulaan ini, mempunyai
pembacaan yang berhubungan dengan pahamnya sekarang, pembacaan yang kelak bisa
menjadi jembatan kepada filsafatnya Proletar Barat.
Saya percaya ada otak di Indonesia sekarang yang lebih terlatih dari saya
dan pena yang lebih tajam dari pena yang berkarat, karena tiada dipakai lebih
dari 10 tahun belakangan ini. Akhirnya ada ahli bahasa Indonesia yang bisa
lebih tangkas merebut jiwa dan semangat Indonesia dari bahasa saya yang
terpendam di luar negeri dalam lebih dari setengah umur saya.
Tetapi karena otak, pena dan bahasa semacam itu saya belum lihat keluarnya,
maka terpaksalah saya mempelopori. Tentulah saya berharap akan hati lapang dan
sikap menolong memperbaiki dari pihak umum, kalau berjumpa dengan kesalahan.
PERPUSTAKAAN
Kita masih ingat berapa sindiran dihadapkan pada almarhum Leon Trotsky,
karena ia membawa buku berpeti-peti ke tempat pembuangan yang pertama di Alma
Ata. Saya masih belum lupa akan beberapa tulisan yang berhubungan dengan
peti-peti buku yang mengiringi Drs. Mohammad Hatta ke tempat pembuangannya.
Sesungguhnya saya maklumi sikap kedua pemimpin tersebut dan sebetulnya saya
banyak menyesal karena tiada bisa berbuat begitu dan selalu gagal kalau mencoba
berbuat begitu.
Bagi seseroang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan
pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup. Seorang tukang tak akan
bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok dan lain-lain
tidak ada. Seorang pengarang atau ahli pidato, perlu akan catatan dari buku
musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukan musuh
secepat kilat dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan yang bersimpati
sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam propaganda, maka
catatan itu adalah barang yang tiada bisa ketinggalan, seperti semen dan batu
tembok buat membikin gedung. Selainnya dari pada buat dipakai sebagai barang
bahan ini, buku-buku yang berarti tentulah besar faedahnya buat pengetahuan
dalam arti umumnya.
Ketka saya menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada
22 Maret 1922, saya cukup diiringi oleh buku, walaupun tiada lebih dari satu
peti besar. Disini ada buku-buku agama, Qur’an dan Kitab Suci Kristen,
Budhisme, Confusianisme, Darwinisme, perkara ekonomi yang berdasar liberal,
sosialistis, atau komunistis, perkara politik juga dari liberalisme sampai ke
komunisme, buku-buku riwayat Dunia dan buku sekolah dari ilmu berhitung sampai
ilmu mendidik. Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan pendidik terpaksa saya
tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke Moskow saya mesti melalui
Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme. Dari beberapa catatan nama buku di
atas, orang bisa tahu kemana condongnya pikiran saya.
Di Moskow saya cocokkan pengetahuan saya tentang komunisme. Dalam waktu 8
bulan disini saya sedikit sekali membaca, tetapi banyak mempelajari pelaksanaan
komunisme dalam semua hal dengan memperhatikan segala perbuatan pemerintah
komunis Rusia baik politik ataupun ekonomi, didikan ataupun kebudayaan dan
dengan percakapan serta pergaulan dengan bermacam-macam golongan. Disini saya
juga banyak menulis perkara Indonesia buat laporan Komintern. Ketika saya
meninggalkan Rusia, memang saya tiada membawa buku apapun, sedang buku
peringatanpun tidak. Pemeriksaan di batas meninggalkan Rusia keras sekali.
Tetapi sampai di Tiongkok dan kemudian di Indonesia, saya dengan giat
mengumpulkan buku-buku yang berhubung dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu
pengetahuan, science (sajans), buku-buku baru yang berdasar sosialisme dan
komunisme. Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat
saya jalankan. Nafsu membeli buku baru, lebih-lebih yang berhubungan dengan
ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka yang tiada berdaya apa-apa.
Tetapi tiada banyak bahagia yang saya peroleh. Sebab kelumpuhan otak seperti
saya sebutkan di atas, maka tak lebih dari satu jam sehari saya bisa membaca
buku bertimbun-timbun itu. Saya terpaksa menunggu sampai kesehatan membenarkan,
tetapi rupanya pustaka tak bisa mengawani saya.
Pada perang Jepang – Tiongkok di Shanghai penghabisan tahun kekuatan darat,
dan laut. Masing-masing tentu mempunyai cerita sendiri dan A huruf pertama itu
bisa membawa "jembatan keledai’’ yang lain seperti ALS, ialah susunan
huruf pada perkataan (A)ir (udara), (L)and (darat) dan (S)ea (laut) forces
(tentara). Sesudah dibandingkan perkara Armament diantara kedua negeri itu,
maka harus diuji perkara yang kedua, yakni Finance, terpotong oleh huruf
"F’’. keuangan dsb.
Demikianlah "jembatan keledai’’ AFIAGUMMI ini saja boleh jadi meminta
seperempat atau setengah brosure kalau dituliskan. Dalam ekonomi, politik,
muslihat perang, science dan sebagainya saya ada menyimpan "jembatan
keledai. Kalau buku penting yang saya baca ada dalam bahasa Inggris, maka
"jembatan keledai’’ saya, susunannya tentu dari permulaan atau sebagian
perkataan inggris.
Kalau tidak beratus, niscaya berpuluh ada "jembatan keledai’’ di dalam
kepala saya. "ONIFMAABYCI AIUDGALOG’’ yang berbunyi bahasa Sanskreta,
bukanlah bahasa Sanskreta atau bahasa Hindu, melainkan teori ekonomi yang
bertentangan dengan teori ekonomi Mahatma Gandhi.
Kalau badan saya ada sehat, maka perkataan guru itu biasanya mudah saya
tangkap. Isinya saya ternakkan dan masukkan ke dalam "jembatan keledai’’.
Kalau kertas atau buku peringatan saya umpamanya dibeslah (disita – catatan
editor) di Manila atau Hongkong oleh polisi, maka hal itu tiada berarti dia
tahu membaca perkataan itu, malah sudah pernah menjadikan mereka pusing kepala
berhari-hari, mengira yang tidak-tidak.
Dalam buku yang akan ditulis di belakang hari (kalau umur panjang!) saya
kelak bisa meneruskan cerita "jembatan keledai’’ saya ini. Saya angap
"jembatan keledai’’ itu penting sekali buat pelajar di sekolah dan paling
penting buat seseorang pemberontak pelarian-pelarian. Bukankah seseorang
pelarian politik itu mesti ringan bebannya, seringan-ringannya? Ia tak boleh
diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun pakaian. Hatinya
terutama tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai tolan. Dia
haruslah bersikap dan bertindak sebagai "marsuse’’ (angkatan militer siap
gempur – catatan editor) yang setiap detik siap sedia buat berangkat,
meninggalkan apa yang bisa mengikat dirinya lahir dan batin.
Ringkasnya walaupun saya tiada berpustaka, walaupun buku-buku saya
terlantar cerai-berai dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan Hindia
atau dalam tebat di muka rumah tuan Tan King Cang di Upper Seranggoon Road,
Singapura, bukanlah artinya itu saya kehilangan "isinya’’ buku-buku yang
berarti.
Tetapi barang yang lama itu tentu boleh jadi rusak. Catatan atau makna yang
saya kemukakan dari pikiran orang lain boleh jadi tiada cukup atau bertukar
arti. Dalam hal ini sekali lagi saya minta maaf dan simpati.
INGATAN
Kitab ini adalah bentuk dari paham yang sudah bertahun-tahun tersimpan di
dalam pikiran saya, dalam kehidupan yang bergelora. Disinilah dikerangkakan
arti dan daerahnya materialisme, arti dan
daerahnya dialektika, serta arti dan daerahnyaLogika. Selain
dari pada itu, akan dijelaskan pula seluk-beluk dan kena-mengenanya
materialisme, dialektika dan logika, satu sama lainnya.
Baikpun materialisme ataupun dialektika, bahkan juga logika, masing-masing
mempunyai lapangan dan tafsiran berjenis-jenis. Materialisme itu bisa ditafsirkan
dengan cara yang mekanis secara mesin mati atau kematian mesin. Malah kaum
mistika, kaum gaibpun bisa mempergunakan materialisme itu, buat memperlihatkan
keulungan-sulapnya atau sulap-keulungannya.
Dialektika yang berdasarkan pikiran dan kegaiban, yang pada Hegelisme
melambung sampai ke puncak, masih terus menerus dipakai sebagai perkakas buat
meluhurkan rohani dan merohanikan keluhuran. Pemikir borjuis dan pemikir feodal
bergantung pada dialektika mistika itu seperti seekor semut hanyut bergantung pada
sepotong rumput yang diayun-ayunkan gelombang.
Logika memuncak pada ilmu bukti (Science) zaman sekarang dengan
berjenis-jenis cabangnya ilmu itu. Hasilnya berjenis-jenis ilmu itu meulungkan
dan menunggalkan kemanjurannya logika sebagai cara berpikir. Dengan begitu
logika menyilaukan mata para pemakai penonton logika itu serta melupakan batas
dan kelemahannya logika itu.
Sebaliknya pula beberapa kitab yang berdasarkan materialisme dialektika di
Eropa dalam keadaan menantang logika itu, lupa akan atau sedikit sekali
memperhatikan kepentingan logika itu. Buat Timur umumnya dan Indonesia
khususnya, yang sampai pada saat saya menulis kitab ini, masih gelap gulita,
diselimuti macam-macam ilmu kegaiban, maka logika itu masih barang baru, hangat
perlu diketahui dan dipahamkan bersama-sama dengan dialektika dan materialisme.
Tetapi jangan pula kita sesat karena me-ulung logika dan menunggalkan
logika itu dengan tidak mengenal batas dan kelemahannya. Dalam kita ini logika
dibentuk di dalam iklim dialektik! keduanya, logika dan dialektika bergantung
pada materialisme. Sebaliknya pula materialisme ini bersangkut paut dengan
logika dan dialektika, seperti: materi, benda itu mempunyai sifat bergerak dan
berhenti, takluk pada hukumnya gerakan, yakni dialektika, serta hukum berhenti,
yakni logika.
Sampai lebih dari pertengahan kitab ini, sampai kira-kira ke ujung bahagian
logika, satu bukupun, buat reference – catatan - tiada dipakai, karena memang
tidak ada. Semua catatan dipetik dari ingatan semata-mata. Di belakangnya saya
mendapatkan bermacam-macam buku yang perlu buat dipetik, dari peringatan tadi,
bukunya tiada terdapat di seluruh Jakarta. Bermula saya sandarkan seluruh isi
kitab ini pada ingatan jembatan keledai semata-mata, karena memang saya tiada
berjumpa dengan buku yang berkenaan. Tetapi sesudah lebih dari seperdua buku
ditulis, saya mendapatkan bahan tulisan yang bisa diperiksa benar tidaknya
sewaktu-waktu, yang bisa dipanjangkan atau dipendekkan menurut pilihan.
Dengan berlainnya keadaan memilih dan menguji bahan itu sudahlah tentu isi
seluruh buku bukan sifatnya, melainkan bentuknya saja tidaklah lagi seimbang,
harmonis dan tiada lagi sesuara. Walaupun saya mau merubah, saya tiada berdaya,
karena bermacam-macam buku buat bahan dari bahagian pertama itu, memang tiada
bisa didapatkan. Saya mesti menunggu sampai perang selesai, baru bisa
didapatkan beberapa buku itu …….yaitu kalau ada bahan penting pula fulus.
Tetapi kalau Madilog masih kekurangan bentuk, saya pikir dia tidak
kekurangan sifat.
MENINJAU KE MUKA
Baru saya sampai di Jakarta, masuki sebuah toko buku Belanda salah satu
toko buku yang terbesar di Asia Timur ini. Saya mau beli sebuah buku
tentang logika. Di kota besar mana saja di Asia Timur ini. Di
Shanghai atau Manila, Hongkong atau Singapura, gampang sekali kita dapatkan
buku semacam itu. Di toko buku tuapun tak perlu lama kita mencari buku logika
karangan Jevons atau Mill (Inggris) atau pun Jones (Amerika) dsb-nya. Di
Jerman, lebih-lebih rusia, mudah sekali mendapatkan buku perkara dialektika.
Tetapi dalam toko buku Belanda di ibu kota "Hindia Belanda’’ yang
berpenduduk 70.000.000 jiwa itu, tak ada satupun buku (popular atau tidak)
perkara undang berpikir, logika. Apalagi dalam toko-toko yang lebih kecil! Satu
gambar dari semangatnya suatu negara yang hanya menghasilkan keju dan
bloembollen itu, tetapi terkaya di dunia. Saya percaya bahwa dalam sekolah
tinggi di Belanda dan di Indonesia ada terkhusus atau tersambil diajarkan
logika. Tetapi saya pikir saya tak jauh dari kebenaran kalau berkata bahwa
English speaking nations (bangsa-bangsa yang berbicara bahasa Inggris terutama
Amerika) lebih mementingkan didikan buat rakyat murba, buat pemuda yang
berotak, tetapi tak mampu, baik dengan jalan Sekolah Tinggi Rakyat ataupun
kursus dan buku popular. Salah satu sifat rakyat Belanda yang terlihat pada
saya adalah sifatdemogogisch, ialah sifat berkilah, sifat
suka mempertentangkan perkara kecil-kecil dengan melupakan pokok yang besar.
Tiada heran kalau negara kecil berpenduduk kira-kira seperdua puluh dari
Amerika dan berkeluasan sepertiga ratus tujuh puluh lima (1/375) dari Amerika
mempunyai partai politik lima puluh dua buah (menurut berita seorang jurnalis
Inggeris yang berada di Holland ketika diserang oleh Jerman (10-5-1940), jadi
kira-kira 17 kali sebanyak partai yang ikut dalam pemilihan di Amerika. Menurut
ukuran Belanda, Amerika itu mestinya mempunyai lebih kurang 1040 partai, baru
ia bsia menyamai Belanda dalam hal percekcokan perkara tetek benger. Logika,
apalagi dialektika, bukanlah ilmu yang dipopulerkan, dijadikan ilmu umum,
dimana raja minyak (Colyn) dan raja tembakau (Cremer) bersimaharajarela.
Sudah bertahun-tahun saya tak punya buku, tak ada salahnya buat saya
sekarang, sebelum menulis buku "Madilog’’ ini, sebentar mengincarkan mata
pada daftar, isi dan halaman buku-buku yang mengandung dialektika dan logika.
Tetapi sebab toko buku yang terbesar di Asia Timur dan toko-toko buku nyamuk di
Jakarta tak punya satupun buku perkara itu saya sama sekali disesakkan kepada
"Jembatan keledai’’ yang tersimpan dalam otak saya. Sekali lagi maaf !
Tetapi perlu pula dicatat disini dalam bibliotheek Bataviase Genootshap,
sesudah hampir habis "Madilog’’ ditulis berjumpa juga dengan beberapa buku
tentang logika dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis.
MADILOG, ialah paduan dari permulaan suku kata : (MA)-TTER, (DI)-ALECTICA
dan (LOG)-ICA "Mater’’ saya terjemahkan dengan "benda’’,dialektika
dengan pertentangan atau pergerakan dan logika dengan undang berpikir. Paduan
dalam bahasa Indonesia tiadalah begitu enak didengar dan tiada pula membuka
pikiran baru seperti "jembatan keledai’’ saya. Sebab segala kata di
atas sudah begitu umum dalam bahasa negara besar-besar di Eropa, walaupun
bahasa cangkokan dari bahasa Latin dan Yunani, maka tiadalah perlu kita segan
mencangkok kata itu ke dalam bahasa kita.
"Madilog’’ saya maksudkan terutama ialah cara berpikir. Bukanlah suatu
Waltanschauung, pemandangan dunia walaupun cara berpikir dan pemandangan dunia
atau filsafat adalah seperti tangga dengan rumah, yakni rapat sekali. Dari cara
orang berpikir itu kita dapat duga filsafatnya dan dari filsafatnya kita dapat
tahu dengan cara dengan methode apa dia sampai ke filsafat itu.
Murid yang cerdik juga insyaf, bahwa kalau dia sudah tahu satu cara, satu
undang, satu kunci buat menyelesaikan satu golongan persoalan, maka tiadalah ia
mengapal berpuluh-puluh persoalan atau jawabannya puluhan atau ratusan
persoalan itu, tetapi dia pegang cara atau kuncinya persoalan tadi saja.
Kebanyakan persoalan bisa diselesaikan dengan logika, undang berpikir saja.
Dalam kehidupan kita sehari-hari yang berhubungan dengan makan minum, pulang
pergi, jual beli dan 1001 perkara berhubung dengan pergaulan kita dengan
sahabat, anak dan istri, tiadalah kita dipusingkan oleh dialektika.
Kenyang tiadalah mengandung arti lapar, seperti menurut dialektika. Kalau
si anak menangis, si ibu memberikan air teteknya dengan segera. Dia tiadalah
pikirkan lebih dahulu bahwa pengertian menangis itu mengandung pengertian
tertawa, dan lapar itu ada terkandung pengertian kenyang. Yang satu sama
lainnya tiada boleh dipisahkan, seperti dalam cara berpikir yang berdasarkan
dialektika.
Dalam sekolah rendah atau menengahpun kita berkali-kali bertarung pada cara
berpikir yang berdasarkan logika. Hitungan yang kita mesti jalankan,
pengalaman, experimenten, dalam ilmu alam dan ilmu pisah yang sang guru lakukan
di depan kita, semuanya mengandung logika. Walaupun dalam dialektika pada satu
saat uap itu sama dengan air jadi tiada berpisah melainkan berpadi, jadi air
sama dengan uap tiadalah kita mengadakan perhitungan atas dasar dialektika ini.
Air tetap air buat kita dan mempunyai sifat air, bukan uap yang mempunyai sifat
uap pula.
Tetapi kalau kita mengaji lebih dalam, kalau kita mengaji ada atau
tak-adanya barang, mengaji seluk-beluk, asal dan akibatnya sesuatu barang,
tegasnya kalau kita tenggelam dalam ombak gelora filsafat, ke dalam persoalan
yang berhubungan dengan alam, masyarakat politik, yang hilang atau timbul,
bergerak dan berhenti, pada waktu yang singkat atau lama, pada perkara yang
berseluk-beluk, maka kita tiada bisa sampai ke ujung dengan perkakas logika
semata-mata. Kita mesti memakai dialektika. Malah dialektikalah yang terutama.
Ahli filsafat yang jawa, ahli politik atau ahli siasat yang cerdas ahli
ekonomi yang sempurna, mesti memakai senjata-pertentangan, seperti senjata
dalam pepatah Indonesia: yang tajam balik bertimbal, kalau tak ujung pangkal
mengena. Ahli filsafat mesti selalu berjalan di antara kedua kutub, utara dan
selatan, ujung dan pangkal, ya dan tidak, ada dan tak-ada. Sebentar dia bisa
cemplungkan otaknya ke dalam ada, sebentar lagi ke dalam tak ada, dan pada
tempat masing-masing memakai logika, tetapi pada pemandangan jauh mempunyai
waktu lama, dia mesti pikirkan ada itu terletak di kutub tak-ada, tak boleh
bercerai satu sama lainnya.
Si-ekonomis dan ahli politik, sebentar boleh memakai Logika, dalam
menyelidiki beberapa perkara dalam golongan proletar atau kapitalis, tetapi
dalam filsafat masyarakat sekarang, masyarakat kapitalisme, dia tidak boleh
melupakan kedua kutub, kaum modal dikutub utara, kaum buruh di kutub selatan.
Satu sama lain bertentangan, tak boleh dipadu. Disini dialektika yang
merajalela.
Tetapi sebelum kita memilih cara berpikir mana yang terutama kita pakai, dialektika-kah
atau logika-kah, maka haruslah lebih dahulu kita bertanya kepada diri sendiri,
apakah persoalan itu berdasarkan matter, benda ataukah idea, bayangan pikiran
semata-mata, roh semata-mata.
Kalau persoalan itu berdasar atas benda, barang yang nyata yang bisa
diperiksa dengan panca indera anggota yang lima, boleh diperalamkan,
diexperimentkan, barulah persoalan itu kita taruh di bawah pemeriksaan kita.
Segala bukti yang nyata yang bisa diperalamkan itulah yang akan menjadi
premisses, menjadi lantainya undang atau paham yang kita cari itu.
Sebab itulah kita namakan Madilog karena berdasarkan matter, benda. Dari
penjuru matter inilah kita memandang. Inilah buat kita yang jadi lantai, yang
menjadi tingkat pertama dalam sesuatu penyelidikan. Boleh jadi resultant atau
hasil penyelidikan itu tiada mencukupi atau salah sama sekali. Tetapi hal ini
tidak disebabkan salahnya cara berfikir. Boleh jadi kepala kita sedang pusing
atau bukti belum semuanya terkumpul atau akhirnya kita salah memakai cara tadi.
Sudah lazim kita dengar dialektika-materialisme atau
historisch-materialisme. Perkataan ini memang cukup tangkas dan selalu dipakai
dalam kalangan Marxisten tetapi nama ini lahir di dunia barat di antara
Marxisten di masa kebanyakan logika, buat menentang sikap yang terlampau banyak
mengutamakan logika. Kita yang lahir di dunia mistika, mistika Hindu pula,
mistika yang tak gampang dikikis, di cuci bersih, maka sebagai tongkat pertama
dalam dunia berpikir, perlulah kita sekadarnya memajukan logika. Di antara ahli
pikir borjuis barat ada yang menyanggah nama dialektika materialisme dan
memajukan kritis-materialisme, ialah logisch-materialisme, tetapi nama ini sama
sekali melenyapkan dialektika, jadi bertentangan dengan Madilog.
Walaupun dalam bagian badan kita, otak kita itu adalah barang yang perlu
dan penting, hati, jantung, usus, dsb juga penting, tetapi kalau tak-bertulang
belakang kita tak bisa berdiri. Klas tani itu penting, klas saudagar di dunia
sekarang berguna, klas intelek berguna-penting, tetapi tak-ber-klas
pekerja-mesin, Indonesia merdeka pasti tak akan bisa berdiri dan kalau berdiri
tak akan bisa teguh dan lama.
Beginilah paham saya sebelum dibuang keluar Negara lebih dari 20 tahun yang
lampau. Di bawah bendera Dai Nippon paham itu tak bertambah lemah, malah
sebaliknya bertambah kuat. Perjuangan nasionalis setelah robohnya PKI (1927),
yang dipimpin oleh kaum intelek sudah lebih dari pada cukup memberi bukti yang
nyata, bahwa perjuangan yang tiada berdasarkan pekerja-murba tidak akan
mendapat Indonesia Merdeka. Sikap keras terhadap para pemimpin prajurit
pekerja, jauh lebih kejam dari pada sikap yang diambilnya terhadap para
pemimpin nasionalis adalah sikap yang sangat jitu sekali menggambarkan
taksirannya imperialisme Belanda terhadap berbagai golongan Masyarakat
Indonesia yang mengancam dirinya itu.
Paham saya tentang segala golongan di Indonesia, sudah cukup saya terangkan
dalam beberapa brosur, yang saya sebut diatas tadi. PARI, yang didirikan
sesudah hancurnya PKI berdiri atas perhitungan kekuatan terbuka dan tersembunyi
Rakyat Murba dan pekerja Indonesia.
Pentingnya, hidup matinya negara pada dunia kapitalisme dan imperialisme
ini, bergantung pada bermacam-macam hal, persenjataan, perindustrian, terutama
senjata, letak negara, persatuan serta banyak penduduknya, semangat rakyat,
kecerdasan dsb.
Kalau semua hal yang lain bersamaan (letak negara, kecerdasan dan banyak
penduduk dsb), maka dalam satu perjuangan keadaan perindustrianlah yang akan
memberi putusan. Yang kuat perindustriannya, itulah pihak yang mesti menang.
Perusahaan sekarang berdasar atas Ilmu-bukti (science) dan teknik, pesawat.
Pesawat itu bendanya ialah besi baja dan kodrat atau rohaninya terutama minyak
tanah. Kalau tak ada baja dan minyak, kapal terbang tak bisa naik, tank dan auto
tak bisa lari dan kapal-selam tak bisa maju. Kalau besi dan baja itu tidak
terdapat dalam negara, melainkan pada negara lain, maka buat menyampaikan
maksud imperialismenya negara itu, dia mesti menguasai semua benda yang penting
itu kalau satu negara penuh dengan benda tadi, tetapi lemah semangat rakyatnya,
lemah intelek, tiada bersatu dan tiada pula merdeka, maka negara itulah yang
akan menjadi umpan atau makanan negara yang gagah perkasa.
Di dunia ini tak ada letaknya negara yang lebih berbahagia dari letaknya
Indonesia. Buat siasat perang tak ada tempat yang lebih teguh. Barang siapa
yang mendudukinya, walaupun hal lain bersamaan, dia mesti menang perang. Siapa
yang tiada mendapat kedudukan itu lambat laun akan kalah. Lihatlah saja peta
bumi. Dulupun hal ini sudah saya majukan. Besi yang paling banyak dan paling
baik sifatnya menurut laporan dalam Bataviasche Nieuwsblad tahun 1935 (?) –
kalau saya tak lupa - ialah di Indonesia Utara, Filipina. Tambang besi di
Malaka dan Filipina memang sudah berjalan. Sulawesi dan Kalimantan banyak
sekali tanah mengandung besi.
Minyak di Sumatra, Kalimantan, Irian sudah begitu kesohor di seluruh dunia,
tak perlu dibicarakan lebih panjang lagi. Bauksite dan aluminium keduanya buat
melebur baja yang kuat keras sudah dikerjakan di Riau dan akan dikerjakan di
Asahan. Benda perang yang lain-lain, seperti: timah, getah dan kopra (buat bom
TNT yang maha dahsyat itu minyak kelapalah yang dipakai) didapati di Indonesia
lebih dari di seluruh bagian dunia lain digabung jadi satu.
Sudah pernah seorang pengarang buku di Amerika meramalkan, bahwa kalau satu
negara seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut
Indonesia lebih dahulu buat sendi kekuasaan. Si Amerika tadi tiada meramalkan
mungkin kelak rakyat Indonesia sendiri menguasai negaranya sendiri, tak mau
menjadi umpan atau makanan negara lain, seperti lebih dari 300 tahun belakangan
ini.
Saya sudah kenal sama tambang besi di Malaka dan Indonesia utara, Filipina.
Baru ini saja saya kagumi tambang minyak yang besar di Pangkalan bradan, Pelaju
dan sungai Gerang. Saya tahu adanya tambang minyak di Tarakan dan Balikpapan,
batu arang di Malaka, Sawah Lunto, Bukit Assam dsb, tambang timah di Bangka dan
Belitung. Saya tahu ratusan ribu pekerja yang terikat oleh kereta api, tram,
mobil, kapal laut dan udara, pos, telepon, telegram dan radio. Ratusan ribu
pekerja pada bengkel, pabrik besi, kimia, gula, teh, kain, sabun, dan
lain-lain. Pada masa saya berangkat ketika lebih dari 20 tahun dahulu jumlah
kaum pekerja itu sudah 2 atau 3 juta orang. Sekarang sudah tentu lebih dari
itu. Banyaknya dan sifatnya perusahaan dalam 20 tahun belakangan ini memang
sudah bertambah. Begitu juga banyaknya serta sifatnya prajurit pekerja.
Pekerja di dalam tambang minyak, besi, timah, bengkel dan pabrik dan pada
pengangkutan inilah tulang belakangnya ekonomi Indonesia. Inilah kaum yang bisa
dikerahkan buat menyokong berdirinya dan majunya Indonesia Merdeka yang sejati
dan terus-menerus mempertahankan kemerdekaan itu. Dekatilah golongan pekerja ini!
Masuklah klasnya! Dengan klas ini bersama dengan golongan lain, maka klas
pekerja seolah-olah akan menjadi klas, sebagai "teras’’ yang
dikelilingi kayu dan kulit, kalau ia terus maju ke muka buat mencapai
kemerdekaan sejati dan mendirikan negara yang cocok dengan kemakmuran sama-rata
dan persaudaraan.
Tetapi tuan mesti kupas masyarakat sekarang, dengan cara berpikir yang
beralasan benda, bukan roh, yang bertentangan, bukan perdamaian, memakai undang
berpikir yang bukan fantastis, bertahyul, sembarangan. Jelaskan pentingnya
benda buat kesehatan kecerdasan, kebudayaan, kemerdekaan dan kesenangan.
Kupaslah pertentangan upah dan untung, pertentangan proletar dan kapitalis.
Pertentangan politik buruh dan politik majikan dan akhirnya pertentangan
kebudayaan kaum pekerja dengan kebudayaan kaum hartawan yang menganggur itu.
Jelaskanlah kedudukan proletar dalam dunia kapitalisme ini. Peringatkanlah,
bahwa mereka pekerjalah, yang menduduki lantai ekonomi perekonomian Indonesia.
Bangunkanlah semangat kritis – menentang - dalam masyarakat yang memang berdiri
atas beberapa golongan yang bertentangan. Dengan begitu bangunkanlah semangat
menyerang buat meruntuhkan yang lama – usang – dan mendirikan masyarakat yang
baru – kokoh – kuat.
Janganlah dihampiri mereka, pekerja ini dengan "logika mistika’’. Atau
kalau tuan begitu gemar akan logika mistika atau dialektika mistika tuan
berlaku jujur. Jalankanlah akibatnya yang sebenarnaya dari logika atau
dialektika mistika tadi. Bilanglah saja terus terang, bahwa benda itu tak
berarti apa-apa, kalau dibanding akhirat. Propagandakanlah bahwa benda dan
nikmat di akhirat lebih banyak, lebih lezat dan lebih kekal. Atau cocok dengan
filsafatnya Gautama Budha, katakanlah bahwa benda itu adalah satu rantai, satu
karma yang merantai hidup kita, hidup sengsara ini. Dengan demikian cocokilah
dan ikutilah sikap dan tindakannya beberapa sekte atau mashap mistika, yang
mencari cara yang baik buat membatalkan dunia ini, cara yang baik buat………mati,
yang buat mereka berarti mati-hidup. Bilanglah terus-terang mati lebih baik
dari pada hidup. Berlakulah begitu, supaya teori cocok dengan praktek, kata
dengan laku. Dengan terus terang dan konsekwen bercakap begitu, kaum pekerja
bisa memilih mana yang baik di antara Madilog atau Logika Mistika.
MADILOG
Tan Malaka (1943)
BAB I
LOGIKA MISTIKA
Demikianlah
Firmannya Maha Dewa Rah :
Ptah : maka timbullah bumi dan langit.
Ptah : maka timbullah bintang dan udara.
Ptah : maka timbullah sungai Nil dan daratan.
Ptah : maka timbullah tanah-subur dan gurun.
Jika saya silap mencatat (di luar kepala) Firmannya Maha Dewa Rah itu, maka
silapnya itu tak akan beberapa. Tetapi saya pikir maknanya sudah tersimpul pada
catatan di atas ini. Firman Maha Dewa Rah sudah tentu banyak juga kawannya di
dunia sekarang. Firman Maha Dewa Rah sudah cukup, memberi gambarannya LOGIKA
MISTIKA atau logika yang berdasarkan rohani.
Negara-kuno, yang kita kenal paling tua dan paling unggul, ialah Negara
Egypte, yang sekarang juga dinamai Mesir. 6000-8000 tahun dahulu penduduk Mesir
sudah tersusun di bawah perintahnya Pharao, yang juga menguasai hidup dan mati
rakyatnya. Maha Dewa Rah yakni Dewa Matahari, ialah Dewa yang terkuasa di
antara beberapa dewa.
Para pemirkir Egypte, yang di antaranya banyak sekali menurunkan ilmu dalam
hal obat-obatan, hitung-menghitung dll, kepada beberapa negara lain di luar
Egypte, seperti Punisa, Yunani dll, tentu juga memikirkan asalnya bumi dan
bintang, memikirkan asalnya dunia yang terkembang.
Rah adalah
Dewa Matahari, ialah Rohani, yang lebih dahulu adanya dari pada dunia, bumi,
dan bintang dan langit. Maha Dewa Rah tentulah sempurna, yakni Maha Terkuasa,
asal dari pada semua benda yang ada di dunia ini. Dengan Firman yang berbunyi
Ptah saja Bumi, Langit, Bintang, beribu juta, sungai nil dan gurun Pasir bisa
timbul. Timbulnya itu adalah pada satu saat saja, sesudah perkataan Ptah tadi
difirmankan. Jadi rohanilah yang pertama, zatlah yang kedua. Zat ini berasal
dari Rohani. Bukan sebaliknya, yakni rohani yang berasal dari zat.
Rah tak perlu menunggu-nunggu, seperti pak tani menunggu-nunggu padinya sesudah
benihnya ditanam. Kalau dia mesti menunggu, maka ini berarti, bahwa dia pasti
takluk pada Sang Waktu. Jika begitu maka Maha Dewa Rah bukanlah terkuasa.
Ringkasnya, Maha Dewa Rah itu terkuasa, tidak takluk kepada Zat dan waktu. Jika
begitu, maka Maha Dewa Rah bukanlah terkuasa. Ringkasnya, Maha Dewa rah itu
terkuasa, tidak takluk kepada Zat dan waktu
.
Firman RAH itulah yang menggambarkan jawab yang paling jitu dan konsekwen,
jujur-dasar, atas pertanyaan yang maha penting dalam Filsafat: manakah yang
pertama, dan mana yang kedua, mana yang asal dan mana yang akibat, di antara
Zat dan Rohani?
Tetapi ilmu Pasti, seperti ilmu bintang, ilmu alam, ilmu pisah (kimia),
ilmu matematika dll, yang semuanya sekarang diajarkan di sekolah di lima benua
yang kita kenal ini, ialah berdasarkan Filsafat yang sebaliknya. Disini Rohani
berupa Kodrat, Kracht, Force, tiadalah dianggap barang yang terpisah, barang
yang berdiri sendirinya, barang yang bisa melahirkan Zat, dalam waktu yang
lebih cepat dari sekejap mata. Disini Force, Kodrat itu, terkandung oleh
Matter, oleh benda. Dimana ada benda disana baru ada Kodrat.
Benda yang oleh bangsa Yunani dahulu kala dinamai electron mengandung
kodrat yang dinamai listrik. Besi-berani yang kita semuanya kenal, menarik besi
biasa dsb. Benda mesti dahulu kita saksikan, barulah dibelakangnya bisa kita
saksikan kodratnya. Kodrat listrik, tiadalah bisa kita lihat rupanya, tetapi
kita saksikan kekuatannya. Kekuatannya ini bisa kita ukur dengan tepat. Kodrat
listrik itu bisa menggerakkan mesin, bisa memberi panas dan cahaya. Tetapi
kodrat listrik itu tak bisa membikin zat baru, seperti orang, hewan, malah
sebutir beraspun listrik itu tak bisa bikin. Jadi buat ilmu Pasti Kodrat itu
tak bisa terpisah dari benda. Lagi pula mesti ada benda dahulu, baru
dibelakangannya timbul kodrat. Electron atau dynamo dahulu, baru dibelakangnya
ada kodrat listriknya. Tidak ada bendanya, tak ada pula kodratnya. Energy,
kodrat semata-mata tak bisa menimbulkan benda.
Cepatnya Maha Dawa RAH menimbulkan bumi dan langit; betul cepat sekali
menggambarkan Maha-Kuasanya Dewa RAH! Tetapi hal ini bertentangan benar dengan
Law Evolution inilah yang dipakai oleh Charles Darwin buat membentangkan
timbul, tumbuh dan tumbangnya hewan serta tumbuhan. Kalau Law of Evolution
Undang Pertumbuhan itu tumbang, maka tumbanglah pula ilmu biology, ilmu hidup
tentang hewan dan tumbuhan. Tumbanglah pula gedung ilmu, yang sudah
menimbulkan puluhan raksasa berpikir dari ilmu, yang sudah nyata sekali
manfaatnya buat seluruhnya umat manusia. Gedung ilmu biology adalah amat permai
sekali dan senantiasa ditambah permainya oleh para ahli pertumbuhan di dunia
ini. Emanuel Kant, ahli Filsafat Jerman yang kesohor itu memakai undang pertumbuhan
buat membentangkan timbul tumbuh dan tumbangnya bumi, matahari serta juta-juta
bintang di langit. Sistem yang dibangunkan oleh Darwin dan Kant, boleh
diperiksa dan dikritik, karena memangnya pula sifatnya ilmu pasti, ialah tahan
uji. Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik,
maka matilah Ilmu Pasti itu. Tetapi walupun sesuatu sistem dari sesuatu ilmu
itu bisa mati, Undang Pertumbuhan, The Law of Evolution akan tetap tinggal.
Syahdan menurut Darwin, maka tumbuhan-tumbuhan, hewan dan manusia itu
adalah hasil dari pertumbuhan yang lama, beratus, beribu, malah berjuta-juta
tahun, dari dua-tiga biji-asli (cells) sampai ke manusia. Menurut Kant dan para
ahli bintang lainnya di zaman sekarang, maka ribuan juta-jutaan bintang dan
bumi di langit itu, adalah pertumbuhan yang lama, juta-jutaan tahun pula dari
permulaan molten Mass, benda lebur sampai ke bentuk dunia yang sekarang.
Semua perubahan dalam juta-jutaan tahun itu, dari leburan benda sampai bumi
dan bintang di langit, dan beberapa biji-asal tadi sampai ke manusia ada
mempunyai keadaan dan sebab. Oleh karena berlainan keadaan hidup, umpamanya
berlainan iklim, maka biji asal tadi menjelma menjadi ikan. Lama kelamaan ikan
menjelma menjadi amphibi (hewan yang hidup di air dan daratan, seperti kodok
dll). Amphibi lama kelamaan menjadi reptil (bintang menjalar seperti ular).
Reptil lambat laun menjelma menjadi binatang yang menyusukan anaknya, seperti
lembu dan monyet. Monyet inilah yang menderita penjelmaan dalam jutaan tahun sampai
timbul hewan berupa manusia. Semua penjelmaan itu berlaku menurut undang yang
nyata dan sebab serta akibat yang nyata dan tetap, dalam waktu jutaan tahun.
Maha Dewa Rah menjelmakan Bumi dan Bintang, sungai nil dan daratan dsb dalam
sekejab mata saja, ialah selama membunyikan Firman PTAH saja. Tetapi
menurut Undang Pertumbuhan maka penjelmaan tadi terjadi dalam dalam juta-jutaan
tahun. Dalam penjelmaan itu bukan kodrat yang dahulu, melainkan benda, matter.
Disinilah LOGIKA MISTIKA mendapat tantangan hebat dari ILMU PASTI
dalam hal pelaksanaan UNDANG PERTUMBUHAN (The Law of Evolution). Dalam
hal pelaksaan lainpun, dalam undang lain dari ilmu pasti, logika MISTIKA tadi
mendapat tantangan pula.
Tiangnya ilmu kodrat (Mechanika), ialah satu cabang dari ilmu pasti, ialah
"The Law of Conservation of Force’’, yakni Undang Tentang Ketetapan Jumlah
Kodrat di dunia ini. Kawannya ialah Undang ketetapan Jumlah Benda di dunia ini.
Syahdan menurut Undang Ketetapan Kodrat itu, maka kodrat yang hilang pada satu bentuk
bisa didapat pada bentuk yang lain. Jadi jumlahnya kodrat tadi tinggal tetap
saja. Undang ini dilaksanakan oleh Joule, seorang Ahli Ilmu Kodrat Inggris
(1818-1889), seperti berikut :
Dengan empat cara, Joule membuktikan persamaan panas dan Kodrat (mechanica)
energy. Dia dapatkan, bahwa buat menaikkan panasnya 1 pond air dengan 1
derajat, perlu dipakai 772 feet-pounds, kaki-pond. Artinya, ialah banyaknya
kodrat yang perlu dipakai buat menaikkan 772 pond satu kaki ke atas.
Jadi Joule mendapat panas. Tetapi dia kehilangan kodrat. Jumlah kodrat di
dunia tinggal tetap seperti dahulu. Cuma sekarang kodrat yang hilang itu berupa
panas, yaitu satu bentuk dari kodrat juga. Banyak persamaannya dengan seorang
hartawan yang umpamanya mempunyai uang yang nilainya R. 1.000.000., tetapi yang
R. 500.000. dia belikan rumah, kapal dan sebagainya. Sebagian dari hartanya
sudah bertukar rupa, ialah menjelma menjadi rumah, kapal dsb. Tetapi jumlah
nilainya tetap R. 1.000.000. juga. Hartanya itu betul bertukar bentuk, uang mas
bertukar menjadi rumah, kapal dan sebagainya, tetapi rumah dan kapal itupun
harta juga. Begitu juga Joule mengadakan undangan tentang perhubungan panas
listrik. Undang ini dipakai pada persoalan lampu.
Seperti jumlahnya kodrat itu tetap di alam ini, begitu juga jumlah benda
(mass). Satu benda yang berupa Zat-Asli (element) bisa hilang. Tetapi yang
timbul umpamanya kayu atau daging. Garam yang terkandung oleh bangkai hewan
atau mayat manusia yang hilang, bisa dicari pada tumbuhan yang mengisap garam
tadi. Yang hilang ialah garamnya atau airnya kucing atau manusia, yang timbul
ialah bambu atau pohon kelapa. Jumlah zat atau benda di alam tetap, seperti
dahulu juga. Kalau beratnya manusia yang hilang itu 50 kg, maka berat kayu yang
berganti itu 50 kg pula.
Zat-Asli (element) yang dikenal di dunia sekarang ini adalah 92 buah. (Di
zaman dulu cuma 4 buah saja, ialah tanah, air, udara, dan api. Tak heran kalau
besok atau lusa angka 92 sekarang akan ditambah lagi). Bagaimana Zat-Asli yang
92 buah yang sekarang itu berpadu dan berpisah sudah banyak pula dikenal.
Seorang guru sekolah, di Inggris, bernama Dalton, mendapatkan satu Undang
yang amat penting buat Ilmu Pisah. Undang itu dinamai "Law of Constant
Composition’’, yakni Undang perpaduan dari Zat-Asli bernama Oxygen (Zuurstof)
dan Hydrogen (Waterstof). Bagaimanapun air itu diperoleh, dalam kamar ilmu
pisah (labolatorium) ataupun di udara, sebagai air hujan, air itu tetap satu
perpaduan Oxygen dan Hydrogen, atas perbandingan yang tetap pula. Dalam kamar
ahli pisah mesti dipakai 88,9 % Oxygen dan 11,1 % Hydrogen. Di udarapun
perbandingan itu tetap begitu. Begitu juga perpaduan semua benda yang
lain-lain, berlaku menurut undangnya Dalton tadi. Demikianlah garam dapur yang
dibikin di kamar Ahli Pisah, ditambang ataupun di air laut takluk kepada
undangnya Dalton.
Kalau keperluan satu benda atas 92 macam zat-asli tadi sudah diketahui,
maka tambah atau susutnya benda itu sesudah beberapa lama dapatlah pula
dihitung. Seorang bayi yang beratnya baru 3 kg, tetapi sesudah umpamanya 20
tahun menjadi 53 kg, maka tambahan yang 50 kg dalam 20 tahun itu bukanlah
tambahan oleh kodratnya malaikat ataupun setan. Tambahannya itu ialah zat
minyak (vet), putih telur (eiwet, protein), tepung (zetmeel, carbohydr) air
dll, zat yang diterima oleh bayi tadi dalam waktu 20 tahun tadi.
Kalau satu mayat yang beratnya 50 kg sesudah beberapa tahun cuma tinggal 20
kg tulang belaka, maka daging yang hilang, yang terdiri dari beberapa zat-asli
yang sudah diketahui itu, tiadalah melayang ke matahari, bulan ataupun lain
tempat, melainkan tinggal dalam daerah bumi kita, dalam bumi dan udara
dikelilingnya. Barangkali sebagian dikandung oleh tumbuhan disekitarnya
tumbuhan tadi, di dalam tanah atau air yang disana sini atau di udara.
Hilangnya zat-asli di alam ini bisa didapat kembali di tumbuh-tumbuhan atau
hewan dalam alam kita juga. Tambahnya zat-asli itu boleh dihitung dari zat-asli
yang bebas dari kandungannya hewan atau tumbuhan di tempat yang mendapat
tambahan tadi. Jumlah di alam tetap saja seperti dahulu. Tak ada tambahnya dan
tak ada pula kurangnya. Seandainya bumi kita sekarang ini mempunyai jumlah zat
X kg, tetapi besok Cuma X-y kg, maka yang Y kg itu boleh kita cari pada
tumbuhan, hewan ataupun manusia yang menerimanya. Jumlahnya di dunia tetap X kg
juga.
92 elemen zat-asli yang dikenal sekarang, yang ada di bumi dan udara kita
pulang pergi, tumbuh atau mati, menjelma menjadi tumbuhan, hewan dan manusia
dan kembali pula ke tanah atau udara. Jumlahnya tetap, berpadunya atau
berpisahnya berlaku menurut undang yang tetap. Hilang pada satu tempat,
terdapat pada tempat yang lain. Tak ada tambah jumlahnya. Tak pula ada
kurangnya. Benda itu tetap jumlahnya. Kodrat (energy) itu tetap pula jumlahnya,
di dunia ini, di bumi dan sekalian bintang di langit, serta di udara yang
terdapat di alam ini.
Tadi LOGIKA MISTIKA mendapat bantahan dari UNDANG
PERTUMBUHAN (The Law of Evolution). Dalam uraian kita di atas ini, kita
lihatlah perbantahan yang lain. Logika MISTIKA pertama berbantah dengan Undang
Tentang Ketetapannya Jumlah Kodrat Di dunia ini (Joule). Bertentangan pula
dengan kawannya ialah Undang Ketetapan Jumlah Benda. Sama sekali tiada bisa
dicocokan dnegan Undang Perpaduan yang tetap (Dalton). Diperingatkan lagi,
bahwa Maha Dewa RAH dalam kurang dari sekejap mata, dengan kata PTAH saja,
menimbulkan berjuta-juta bintang, bumi dan langit.
Pertama disini kita lihat kejadian yang berlawanan dnegan common sense,
pikiran sehat. Baik dalam kamarnya ahli pisah ataupun diluarnya tak pernah kita
menyaksikan satu kata bisa menimbulkan benda. Dalam dongeng atau cerita memang
kita cukup menjumpai kegaiban itu. Tetapi dalam 40 tahun belakangan ini saja,
di antara 2.000.000.000 manusia itu belum pernah saya dengar satu makhluk yang
bisa dengan kata saja menimbulkan seekor macan, jangankan lagi Bumi atau
Bintang. Rohani, kata kosong, menurut pikiran sehat tak bisa menimbulkan benda.
Tak ada itu tak bisa menimbulkan ada. Dalam dialektika Idealisme kita bisa
menjumpakan kosong mengandung arti ada, atau tak ada mengandung arti ada. Tetapi
dalam logika ataupun Dialektika yang berdasarkan kebendaan, hal itu adalah
mustahil, satu omong kosong. Lapar tak berarti kenyang buat si miskin. Si Lapar
yang kurus kering tak akan bisa kita kenyangkan dengan kata kenyang saja,
walaupun kita ulang 1001 kali.
Kedua, sudah kita lihat, bahwa menurut Undang tentang Ketetapannya Jumlah
Kodrat, satu rupa kodrat bisa menjelma mengambil rupa yang lain. Cuma jumlahnya
di dunia tetap adanya. Jadi kalau Rohani atau kodrat panas, kodrat uap, kodrat
listrik atau besi berani yang ada di dunia ini, mestinya kodratnya RAH
kehilangan jumlah kodrat yang ada di seluruhnya dunia. Pendek kata, RAH itu
sendiri tak mempunyai kodrat lagi, RAH sendiri sudah bertukar menjadi kodrat
Alam, Natural Force, yang berupa panas, cahaya, listrik dll. Yang semuanya
terkandung dalam benda di seluruh alam kita.
Ketika semua benda di alam ini : bumi, matahari, bintang, tumbuhan, hewan
dan manusia – mestinya menurut Undang Ketetapan Jumlahnya Benda, datangnya dari
benda juga. Cuma rupanya benda-asal itu berlainan dari benda-jadi ini.
Bagaimana satu bentuk benda menjelma menjadi bentuk yang lain, berlaku menurut
Undang Perpaduan seperti sudah ditetapkan oleh Dalton. Tegasnya benda-asal
mesti ada lebih dahulu, baru benda yang ada di dunia sekarang bisa pula ada.
Benda asal itu menurut Kant adalah benda-lebur (molten-mass). Dari benda-lebur
itu berjalan sepanjang Undang Perpaduan dan Perpisahan (Dalton dll). Sesudah
juta-jutaan tahun kita sampai kepada beberapa cenkiemige cellen, yakni beberapa
biji-asli yang bertunas satu. Beberapa biji-asli yang bertunas satu ini sesudah
jutaan tahun pula, berhubung dengan perubahan iklim dsb. sepanjang Undang
Pertumbuhan (Darwin) kita akhirnya sampai ke alam kita sekarang.
Sebagai kebulatan pemeriksaan kita sampai sekarang kita bisa tetapkan,
bahwa penimbulan dunia benda dan kodratnya itu oleh Rohani atau Firman dalam
sekejap mata saja adalah berlawanan sekali dengan segala undang yang dipakai
dalam ilmu pasti.
Marilah sebentar mengendalikan, bahwa Rohani itu terdiri dari Zat. Inipun
ada mengandung perbantahan diri sendiri. Bukankah Rohani itu dianggap suci,
tidak kotor seperti zat. Terkuasa, artinya tidak takluk kepada undang dan sifat
yang mengenai zat, Rohani tak bisa berubah, tumbuh atau susut, sakit atau senang,
hidup atau mati, bersih ataupun kotor. MAHA DEWA RAH, ialah terkuasa,
tersempurna, tersuci, tak bisa dikenal oleh undang yang mengenai zat. Kalau DIA
masih bisa dikenal oleh undang yang mengenai zat, bukanlah ia RAH lagi,
bukanlah ia tekuasa lagi, bukanlah pula DIA maha sempurna dan maha suci lagi !
Belumlah lagi habis saya tuliskan yang diatas ini, maka menjelmalah di
depan saya rohnya para pemikir Egypte. Mereka dengan kawannya para ahli
kegaiban yang ada di sekitar kita sekarang membantah dengan keras. Dewa RAH
menimbulkan zat dengan segala undang yang dipakai dalam ilmu PASTI sekarang
supaya sesudah ditimbulkan itu, alam bisa bekerja sendiri menurut undangnya
sendiri. Buat menyelidiki yang di belakang ini saya tiada perlu memakai cara
membantah dengan mengandaikan seperti di atas tadi, yang dalam Ilmu Logika
dinamai cara reductio ad absurdum. Menurut cara itu tadi rohani itu sebentar
diandaikan zat. Sekarang boleh saya pakai cara yang lazim dipakai oleh orang
desa ialah menghitung dengan memakai jari.
Kini persoalan bukanlah lagi mana yang bermula Zat ataukah Roh, melainkan
siapa yang terkuasa Dewa RAH ataukah ALAM? Tiga jawab yang mungkin, dan tiga
jari pula yang perlu dipakai.
1. Dewa Rah lebih kuasa dari Alam dan
Undangnya.
2. Dewa Rah sama kuasa dengan Alam dan Undang
Alam.
3. Dewa Rah kurang kuasa dari Alam dan Undang
Alam.
Balik kita kejari ke 1, yakni pada telunjuk yang mengatakan bahwa Dewa Rah
lebih kuasa dari Alam dan Undangnya!
Menurut Ilmu Bintang zaman sekarang, maka jutaan Bintang dan Bumi beredar
menurut Undang yang pasti, ialah undangnya Newton. Undang itu diakui syah,
dipelajari di sekolah, dan dipakai oleh Ahli Bintang buat menghitung hal yang
berkenaan dengan bumi dan bintang. Undang Newton tetap diakui syahnya, walaupun
Einstein dalam beberapa perhitungan bisa mendapatkan hasil yang lebih jitu.
Kalau undang alam yang dilukiskan oleh Newton itu jatuh, ataupun satu menit
saja berhenti, maka kacau balaulah jutaan bumi dan bintang tadi. Tetapi selama
Ilmu Pasti lahir dan ahli-ilmu-pasti memperhatikan jalannya Bumi dan Bintang
ini, belumlah satu saat juga undang gerakan bintang itu dapat perkosaan. Belum
pernah Maha Dewa RAH – yang mestinya masih ada menahan matahari naik, atau
mencegah matahari turun Pasti Rah tak akan bisa.
Peralaman (Experimenten) yang dijalankan dalam Laboratorium pada 5 benua di
muka bumi ini belum pernah memungkiri Undang yang dikenal, dalam Ilmu Kodrat
(Mekanika) Ilmu Alam, Ilmu Pisah dll. Undang alam itu terus jalan dengan tetap
pasti, tak perduli, di waktu mana ataupun tempat mana juga. Dimana saja, bila
saja undang itu dilaksanakan, dia berjalan tetap terang. Seperti pepatah
Indonesia: Terang, bersuluh bulan dan matahari, bergelanggang di mata orang
banyak. Pasti pula Maha Dewa Rah tak akan bisa merubah jalannya undang itu,
pasti tak bisa.
Seorang pemikir nakal pernah berkata: yang kuat di alam ini mengalahkan
yang lemah. Undang Alam ini sudah termasuk ke dalam common sense. "Ini
semut’’,katanya pula, "ini jari saya, lebih kuat dari semut itu’’, katanya
terus. "Kalau ada Kodrat, yang bisa mencegah Alam menjalankan Undangnya,
tolonglah semut ini’’, katanya yang penghabisan. Pada saat itu juga
ditekankannya jari pada semut yang lemah tadi. Semut tadi pasti mati. Quot erat
demonstandum. Demikianlah dibuktikan kebatalannya andaian ke 1 tadi.
2. pada jari tengah Dewa Rah sama kuasa dengan alam dan undang alam.
Kalau begitu apa gunanya menyembah Dewa Rah? Dewa Rah tidak diketahui
jalannya. DIA adalah satu kegaiban yang maha besar. Sedangkan alam bukanlah
semuanya gaib, sudah banyak diketahui undangnya, jalannya. Boleh dilihat
akibatnya dan disimpulkan segala buktinya. Ditunjukkan kebenarannya dengan tak
pernah mungkir. Boleh dipakai undangnya itu buah keselamatan dan kesenangan
didup. Jadi lebih baik sembah junjung dan puja alam saja, barang yang nyata
itu. Seandainya Maha Dewa RAH tak menyetujui hal ini, maka dia boleh parani
alam dan kalau perlu berjuang, mengukur kekuatan dengan alam. Karena kekuatan
RAH dan Alam itu seperti sudah kita andaikan tadi sama, maka kita makhluk yang
hina ini boleh menjadi penonton saja. Kita tak perlu takut. Dewa Rah tak akan
bisa berhenti memarani kita penonton. Karena DIA tak bisa lepas dari gelutan,
sepak-terjang, terlak serta kuntauannya alam yang sama-kuat dengan Dewa Rah
itu.
3. Pada jari manis : Dewa Rah kurang kuasa dari alam dan Undangnya.
Seandainya kemungkinan ini benar, maka kita ingat pada nasibnya Dr.
Frankenstein. Dia, seperti kita tahu, membikin seorang raksasa. Dia
menghidupkan kembali dengan jalan Ilmu Listrik satu mayat. Tetapi otaknya mayat
itu, ialah otaknya seorang bangsat. Raksasa yang dihidupkan ini menjadi musuh
mati-matian Dr. Frankenstein. Sang dokter terpaksa lari bersembunyi saja, tak
sanggup menentang buatannya sendiri. Kasihan pula kita kalau Dewa Rah membikin
Alam yang lebih berkuasa dari pembikin, ialah Rah sendiri, sampai terpaksa lari
bersembunyi.
Dr. Frakenstein bisa mencari tempat bersembunyi. Tetapi kemanakah Dewa Rah
akan bersembunyi? Bukankah semua yang ada ialah alam yang takluk pada undangnya
alam? Demikianlah menurut kemungkinan yang terakhir ini Maha Dewa Rah mestinya
takluk pada Alam. Sebagai bukti, ialah dimana saja dan pada waktu mana saja
undangnya alam tak pernah dan tak bisa dapat bantahan.
Demikianlah kalau kita pakai pikiran yang jernih, hati berani dan jujur,
memikirkan, bahwa zat berasal pada Rohani, kita mesti tersesat. Kita mesti
akui, bahwa hakekat yang semacam itu bertentangan dengan akal.
Gauthama Budha yang saya anggap ahli filsafat MISTIKA yang terbesar,
semenjak dunia ini diketahui, ahli filsafat yang lebih besar pengaruhnya dari
ahli filsafat Barat, dari Plato sampai Hegel, lebih besar dari pada pengakuan
Barat sendiri. Gauthama Budha yang sudah mengakui, bahwa Rohaninya sudah
bersatu padu dengan Roh Alam, sudah sampai ke Nirwana jika disesakkan oleh
muridnya dengan pertanyaan: apakah Roh Alam (Rohani) itu sama dengan Jiwa
(manusia?), terpaksa menjawab: "Pertanyaan itu salah’’.
Artinya hal semacam itu jangan ditanyakan. Artinya Budha sendiri tak bisa
menjawab. Tiada pula kita heran kalau ahli MISTIKA zaman sekarang, yang sebesar
kaliber Mahatma Gandhi, kalau ditanyakan apakah ahimsa itu, maka Sang Mahatma
memakai cara menjawab yang oleh Ahli Logika Yunani dinamai circulo in finiendo,
ialah berputar-putar tak habis-habisnya, seperti menghesta kain sarung.
Seperti Asia di jaman sekarang, demikianlah Eropa di jaman tengah (tahun
478-1492) tak bisa bercerai dengan persoalan creation, yakni timbulnya dunia
yang tak bisa dipisahkan pula dengan Deisme, ialah kerohanian. Pada zaman
inilah scholastisme bersimaharajalela.
Tetapi pada masa dan sesudahnya Revolusi Perancis (1789), maka filsafat itu
tiada lagi dimulai dan diakhiri dengan persoalan timbulnya dunia dan
ke-Tuhanan.
MADILOG
Tan Malaka (1943)
BAB II
F I L S A F A T
Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu sekali
kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk
kumpulan itu. Kalau tidak begitu bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang
kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak.
Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat yang mempunyai ratusan, ya,
ribuan buku itu. Kita lebih dahulu mesti pisahkan arah-pikiran para ahli
filsafat. Kalau tidak, niscaya bingunglah kita, tak bisa memisahkan siapa yang
benar, siapa yang salah. Seperti para pemain sepak bola tadi kacau balau di
mata kita, tak tahu apa maksudnya masing-masing, begitulah di mata kita para
ahli filsafat berkata semau-maunya saja, kalau tak ada pangkal tak ada ujung.
Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari
kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai
co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak
sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis
Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan
oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang,
selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan
mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena
ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat
"Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi.
Sebagai co-creator Engels melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis
Materialisme dan komunisme, dengan bahasa yang terang, populer, jitu dan merdu.
Engels memisahkan para ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa
hidupnya Marx-Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis
yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum Idealis
"umumnya" memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan
kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang-kadang perlawanan
tinggal tersembunyi tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang, cocok dengan
riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik. Kadang-kadang
idealis di luarnya itu, materialis di dalamnya, sarinya; Spinoza, kadang-kadang
materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.
Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealis,
kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley yang
berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit
dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di masa revolusi Perancis yang
berpuncak pada Marx-Engels. Di antaranya itu didapati banyak ahli filsafat
campur aduk scientists, setengah idealis setengah materialis.
Biasanya musuh proletar, menerjemahkan dan menyamarkan
"materialisme" itu sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari
kesenangan hidup tak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin
dan cerai sesukanya saja. Sedangkan idealisme itu diterjemahkan dan dijunjung tinggi
sebagai satu ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih memperhatikan
berpikir dari pada makan, dan kebudayaan yang sampai menjaduhi kaum ibu seperti
seorang santri, resi. Dalam keadaan yang benar, dalam kehidupan mereka, kita
tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang memangku paham idealis
berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam kalangan materialis
banyak kita dapati orang hidup dengan segala sederhana dan seperti suami dan
bapak yang setia.
Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan
para ahli filsafat dalam dua barisan, semata-mata berdasarkan atas sikap yang
diambil si pemikir, ahli filsafat dalam persoalan yang sudah kita tuliskan
lebih dahulu, yakni mana yang pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau
fikiran, matter atau idea. Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah
pengikut idealisme, itulah yang idealis. Yang mengikut materialisme, itulah
yang materialis. Hidup segala sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada
memperdulikan kesehatan diri sendiri, dan kebaikan buat masyarakat itu
bergantung kepada watak masyarakat, dan didikan masing-masing orang.
Dengan memakai pemisahan yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi
persoalan yang mudah bagi kita. Dengan mengambil satu contoh, satu model saja,
kita bisa ketahui seluk beluknya perkara yang bersamaan dan bersangkutan.
Dengan David Hume sebagai ahli filsafat idealis, kita bisa gambarkan semua ahli
filsafat idealis dari Plato sampai Hegel.
"If I go into myself", "kalau saya masuki diri saya
sendiri", kata Hume, maka saya jumpai "bundles of conceptions",
bergulung-gulung pengertian, bermacam-macam gambaran dari pada benda.
Kalau Hume hendak mengetahui apakah benda yang bernama buah jeruk itu
umpamanya, maka yang ia insyafi cuma rasanya yang manis itu, kulitnya yang
licin itu, beratnya yang 1/2 atau ¼ kilo itu, warnanya yang hijau atau kuning
itu, bunyinya yang nyaring atau lembek itu. Bunyi itu ada di telinga, dalam
badan Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume, bukan pada jeruk,
rupanya pada mata, rasanya di lidah atau di ujung jari Hume. Semuanya bunyi,
rupa dan rasa itu dengan perantaraan saraf, nerve, berjalan ke pusat ke centre,
ke otak.
Otak mencatat bunyi, rupa dan rasa tadi menjadi pengertian, conception,
seperti pengertian merdu, kuning, berat, lezat dan licin. Semua pengertian ini
" dalam" saya, kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk itu sebagai
benda, tak ada bagi saya. Yang ada Cuma "ide", pikiran, pengertian,
tentang benda itu dalam otak saya. Otak saya penuh dengan pengertian
"bundles of conceptions" kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu
sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian,
gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. "Engkau" kata
Hume, cuma "ide" buat saya.
Tetapi Engkau buat Hume adalah saya buat tuan Smith umpamanya, dan saya
buat Hume, adalah engkau buat Smith. Jadi engkau cuma ide, cuma gambaran buat
Hume itu mestinya juga gambaran buat Smith. Hume yang dipandang dari pihak
Smith ialah engkau mestinya satu gambaran, satu ide saja. Tak ada Hume itu buat
Smith sebagai orang, sebagai ahli filsafat. Yang ada cuma gambaran dalam otak
Smith.
Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan
adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada.
Beginilah akibatnya yang konsekwen dari Idealisme, dengan membatalkan adanya
benda, ia membatalkan dirinya sendiri.
Demikianlah David Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction dan
menganggap ide yang pertama, dalam menentang benda sebagai dasar yang pertama,
tewas dalam tentangannya membatalkan adanya diri sendiri. Dengan begitu ia
sebetulnya membatalkan filsafat idealisme itu.
Sesudah Hume, boleh dibilang filsafat idealisme sudah mati. Tetapi barang
yang mati itu acapkali menjelma hidup kembali dengan memakai bentuk baru,
seperti Pharao Rah dan Ptah tadi, sekarangpun masih ada bentuknya.
Emmanuel Kant ahli filsafat Jerman kesohor itu, mengangkat naik kembali
bendera Hume, tetapi tidak dengan konsekwensi Hume. Kant tidak berjalan terus
jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata Lenin, filsafat Kant tidak
boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat berkelahi. Menurut Kant, kita bisa
ketahui dengan pancaindera kita sesuatu benda, tetapi "Ding an Sich"
benda sendirinya, kita tidak bisa ketahui.
"Kalau sudah kita ketahui sesuatu barang dengan pancaindera apa juga
lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu“ begitulah kaum materialis
bertanya. Buat kaum materialis hal itu sudah cukup. Tetapi buat Kant itu belum
cukup. Ia tak sepenuhnya memihak pada Hume dan bilang terus terang, bahwa benda
itu buat dia tak ada, yang ada cuma gambaran dalam otaknya. Tetapi ia cari
rumput buat sembunyi dengan memakai "Ding an Sich" benda itu sendiri.
Jawab Engles dalam hal ini, pendek dan jitu. Kata Engels: dari hari ke
sehari "Ding an Sich" itu, sudah menjadi "Ding an Furuns".
Benda yang sendirinya itu tidak diketahui, dari sehari ke sehari sudah menjadi
"benda kita". Keterangan Engels tentang "Ding Fur Uns" itu
dulu banyak saya cari tapi tak berjumpa. Tetapi menurut pikiran saya, jawab
Engels yang pendek ini mesti diterjemahkan sebagai berikut:
"Air" umpamanya, yang dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita
seperti suatu barang yang ajaib, sekarang kita sudah ketahui "zat
asalnya", ialah Hydrogen dan oxygen. Sudah diketahui, menurut undang mana
dia berpadu, ialah menurut Undang Dalton. Apa rasanya air itu kalau diraba atau
diminum. Berapa beratnya 1 L. Apa gunanya buat kita, buat tumbuhan dan hewan.
Bagaimana sifatnya, dsb. Apa juga lagi yang mesti di "Ding an
Sich"kan tentang air, nenek moyang kita cuma mengetahui 4 zat saja di alam
ini ialah :tanah, air, api, udara. Sekarang sudah diketahui 92 zat asli,
elementen. Yang diketahui sudah boleh kita periksa dengan pancaindera kita, dengan
perkakas yang kita bikin, seperti microoskop, telescoop dan teropong, perkakas
yang bisa membesarkan kuman, beratus ribu kali dan mendekatkan bintang beratus
ribu kali. Perkakas yang dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah
kepastiannya dan kejituannya. Semua zat yang kita ketahui itu boleh kita pada
satu sama lainnya, kita buat makanan dan kesehatan kita, kita pakai kodratnya
buat kehidupan dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan
membom. Yang belum kita ketahui, sedang kita cari dengan giat dan dengan lebih
besar pengharapan mendapatkannya karena teori, cara berpikir dan perkakas kita
makin banyak, makin baik.
Dimana lagi
"Ding an Sich" itu tempatnya, pada zaman, di mana alam yang dahulu
kala, dianggap gaib itu, sebagian besar sudah diketahui dan dikontrole,
dikemudikan dipakai menjadi "Sing fur Uns", yakni benda kita, seperti
kata Engels tadi. Idealis yang lebih licin, karena ia memakai Dialektika dan
Logika dengan cara dan bahasa yang tiada ada bandingnya selama ini, ialah
Hegel. Lama Marx, walaupun ia sudah Marxis, sesudah meninggalkan gurunya,
Hegel, dilekati Hegelisme.
Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan synthesis di
tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau mata si pemandang.
Buat Hegel "absolute Idee" ialah, yang membikin benda
"Realitat". "Die absolute Idee macht die Gesichte" absolute
idee yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan
filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idee "deren nachdrucklichen
Ausdruck, die Philosophie ist" yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi
menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan masyarakat dibikin Absolute
Idee, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada lain tempat Hegel mengatakan,
bahwa Negara dan Saat ialah "verwieklichung" penjelmaan, absolute
idee itu. Absolute Idee itu sama dengan Metaphysik, Idee sendirinya, idee yang
tak dibikin, yang tunggal tak jatuh pada undang sebab dan akibat, hidup dan
mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada tempo dan tempat,
melainkan tunggal, terkuasa dan sempurna. Absolute Idee itu tergambar jitu dan
pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama dengan metaphysik, yakni gaib
di luar Ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte purbakala, Dewa Rah.
Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu, kalau ia
memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari semua yang
lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas dari makanan, ya,
lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau beruntung seperti
Gautama Budha, maka leburlah Rohani, Jiwanya dengan Rohani yang mengisi Alam
ini.
Feurbach, materialis besar, yang dianggap jembatan antara Hegel dan Marx,
mula-mula memakai Dialektika juga. Buah pikirannya ketika itu banyak memberi
alat pelajaran pada Marx dan Engles. Tetapi setelah Feurbach melemparkan
Dialektika sebagian besar disebabkan hidup terpencil, seolah-olah terbuang dari
pergaulan, maka hasil pemeriksaannya jauh terbelakang dari Hegel. Hegel
dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung filsafat yang negatif, yakni ujung
yang membatalkan, ujung yang buntu. Feurbach dianggap sebagai ujung yang
positif, yakni pembuka jalan yang baru ke jalan Dialektis Materialistis. Kaum
Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran senjata Dialektika, tetapi membuang
Idealisme Hegel.
Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel, (sebagai
pelajar ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme), akhirnya
memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini dianggap
berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagai mana mestinya.
Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan
pikiran.
"Negara kata", kata Marx "ialah satu akuan dan hasil dari
perjuangan klas". Perjuangan klaslah yang menjadi
"Motive-Force", kodrat pergerakan sejarah masyarakat, kodrat mengubah
bentuk Negara, jadi bukanlah "Absolute Idee", seperti kata Hegel.
Zaman berbudak bertukar menjadi Zaman Feodal, Zaman Ningrat. Zaman Feodal itu
sesudah Revolusi Perancis pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman-Kuno dalam
pandangan sekarang. Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada zaman
Berbudak, ialah pertentangan budak dan tuan. Pada zaman feodal, pertentangan
Ningrat dan Tani, pertentangan pemimpin gilde dengan anggota gilde. Pada zaman
Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan kaum modal. Pertentangan klas yang
berdasar atas pertentangan ekonomi itulah yang menjadi kodrat buat menumpu
masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu tingkat ke tingkat
yang lain. Dari masyarakat berdasarkan perbudakan ke masyarakat berdasar
keningratan, ke masyarakat berdasar kemodalan. Jadi pertentangan itu bukan
pertentangan ide saja, seperti menurut paham Hegel – nanti akan diteruskan –
tetapi pertentangan barang yang nyata, pertentangan antara dua klas besar yang
berjuang, yang sekarang terus berjuang.
Pertentangan klas, ialah klas manusia, ialah barang yang nyata itu,
berdasar atas pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan tehnik. Tehnik
yakni perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada zaman ini
dimiliki oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya, menjadi alat adanya perjuangan
klas itu. Semua perkakas dan klas manusia, yang menjalankan peranan dalam
sejarah kita manusia ini adalah barang yang nyata semuanya. Peranan sejarah
itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan oleh Absolute Idee itu, sebagaimana juga
sejarah tumbuhan-hewan-manusia, bumi dan binatang tidak dikemudikan oleh
Dewa Rah, Rohani, Ahimsa dsb.
Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut undang tarik
menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuhan-hewan dan manusia
bersejarah menurut undang-evolusinya Darwin, beginilah sejarahnya masyarakat
manusia bersejarah menurut undangnya Historisch-Materialisme (Sejarah Materialisme),
yang juga dinamai Dialektika Materialisme.
Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua: Dialektika
Idealistis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh kaum yang
bermodal dan berkuasa dengan pengikutnya, yang kedua, oleh kaum proletar yang
revolusioner. Di antara dua filsafat bertentangan tadi, sudah tentu ada
bermacam-macam filsafat bukan buat bertarung. Hegelisme yang memang
revolusioner terhadap kaum Ningrat Jerman, tetapi kontra revolusioner terhadap
kaum Proletar, sudah tentu baik buat tempat berlindungnya kaum reaksioner
seperti kata Marx: "Dalam bentuknya yang reaksioner, Hegelisme menjadi
adat, sebab bentuk ini menerjemahkan keadaan yang ada".
Idealisme tak akan mati selama masih ada perjuangan klas ini, selama ada
kaum yang menghisap dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada satu pihak,
mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada
lain pihak ia memakai kemegahan, majiat rohani buat meninabobokan kaum pekerja,
supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang matanya seperti mata burung
merpati dan kesenangan kekal akhirat.
Demikianlah sesuai dengan perjuangan kelas, idealisme atau tak
berdialektika, membentuk dirinya supaya cocok dengan keadaan klas yang
memegangnya. Dimana Kapitalisme masih muda, kokoh karena sedang naik seperti
Amerika, maka lahirlah idealisme berupa "pragmatisme" yang
dikemukakan oleh John Dewey. Filsafat pemikir dari negara yang mempunyai
"the biggest of all", semuanya paling jempol, ini katanya berdasarkan
"objective truth", hakekat yang obyektif, yang tenang, tetapi kalau
diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa "objective truth", tadi
bergantung pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi Amerika "the
country of the free", negara merdeka ialah buat borjuasi amerika. John
Dewey mengambil masyarkat borjuis dan paham borjuis sebagai titik permulaan
berpikir, ketika Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai sebelum perang ini
kemakmuran Amerika, yang disangka akan tinggal kekal tadi, sudah menyusuli
kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah bersimaharajalela dan tetap.
Sekarang buat 11.000.000 buruh, jadi buat kira-kira 33.000.000 buruh dengan
anak bininya, "obyective truth" tadi, tidaklah begitu
"obyective", tidaklah begitu tenang. Semua barang yang memberi
ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi, polisi dan hak milik
turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham, perasaan dan penghidupan
kaum proletar Amerika sekarang.
Dimana pergerakan buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum perang
1914-1918, maka dalam kalangan proletar sendiri idealisme itu tiadalah berani
keluar terang-terangan. Dalam kalangan kaum proletar sendiri masuk
bermacam-macam isme, yang diluarnya berupa materialisme, tetapi pada dasarnya
terdapat idealisme. Lenin dalam bukunya: "Empiris-Critism" dengan
terang dan jitu mengemukakan, pemisahan kaum ahli filsafat atas dua partai,
seperti pertama kali dikemukakan oleh Engels, ialah partai ahli filsafat
idealis dan partai materialis. Dengan sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai
oleh Empiris-Critism, Machinisme Neo Vitalisme, dll. Dan memperlihatkan
idealisme yang sebetulnya jadi dasar filsafat mereka.
Di Rusia usahanya Lenin dan Plechanoff, (yang dalam kalangan Marxisten di
Rusia sendiri sering saya dengar bahwa Plechanoff lebih besar dalam ilmu
filsafat dari pada Lenin), usahanya dua ahli filsafat Materialis ini akhirnya
menjatuhkan kekuasaan filsafat Idealisme di Rusia dan memaksa dia bekerja
diam-diam. Dialektis Materialisme ialah Ilmu Pemandangan Dunia, “Weltanschauung"
yang resmi, opisil di Sovyet Rusia.
Di sebelah Barat Eropa, idealisme masih sangat berkuasa dan pada masa ini
idealisme-lah yang resmi. Idealisme Barat mendapat bentuk baru, dan pakaian
baru, ialah anarchisme palsu, dari ahli filsafat Bergson dan syndikalisme dari
Serel. Anachisme Bergson bukanlah anarchisme beraksi, seperti ilmu yang dipeluk
oleh anarchis besar, ialah Bakunin. Bergson, Spengler dan Nietsche (yang
belakang ini ialah satu filosoof krachtpatser, siapa kuat, siapa raja,
Ubermensch) inilah yang dipeluk oleh Adolf Hitler dan Nazi. Filsafat Fasisme
dianjurkan oleh pemikir Geovani Gentile.
"Facisme", kata pemikir ini "bukanlah New System, tata
filsafat yang baru, melainkan aksi-baru dan paham-baru".
"Manusia" katanya pada hakekatnya beragama. Manusia dan Tuhan selalu
dalam "ewige Bewegung der Selbstverwirklichung", pergerakan kekal
buat berpaduan.
Sedikit kita selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama
sekali menaikkan bendera reaksi di Eropa Barat, apabila partai Bojuis liberal
kacau, partai Sosialis maju-mundur dan partai Komunis sebagian tak
berpengalaman, tetapi terutama juga "sangsi" sebab negara Italia,
kalau dikomuniskan gampang dikepung dan dijauhkan oleh Kapitalisme Eropa Barat
dan Amerika.
Fasisme kata Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru memang tidak, kalau
dipandang dari kaca-mata idealisme. "aksi-baru dan paham-baru"
katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar dengan
pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar – kapitalis model baru.
Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku "18th Brumaire of Louise
Bonaparte", tentang aksi dan paham Louise Bonaparte di Perancis, maka aksi
dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru dari aksi dan paham tua.
Mussolini, bapak fasisme juga amat tertarik oleh Napoleon Besar
"ommpya" dari Louse Bonaparte sampai ia mentonilkan Napoleon, yang
katanya orang Italia itu.
Bahwa manusia dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa
penyelidikan yang tenang, yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak
mengetahui agama. Akhirnya kalau kita baca "pergerakan kekal buat
perpaduan manusia dan Tuhan" menurut filsafat fasis itu, kita ditarik lagi
ke negara Kapilawastu, ke kaki gunung Himalaya; mengagumkan percobaan Gautama
Budha, mempersatukan rohnya dengan roh Alam buat masuk ke Nirwana. Cuma Gautama
Budha tak seperti Mussolini memakai tongkat dan "kastor-olie" buat
mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti, pemimpin sosialis Italia,
musuh besar Mussolini yang hilang lenyap selama-lamanya buat melakukan
"paduan dengan Tuhan itu" dengan lekas.
Perjuangan klas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya
dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis
dan tinggal di tanah, di perut, seperti dialektis materialisme (orang mesti
makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels), tetapi filsafat itu adalah
bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee seperti
kata Hegel.
Pada permulaan, filsafat itu timbul pokok, yang jadi persoalan, ialah
"semua ini". Ahli filsafat bertanya: "semuanya ini, bumi, langit
dan pikiran itu sendiri, apakah artinya?" Lama-lama persoalan "semua
ini" cerai-berai. Bumi dan langit sudah jatuh menjadi ilmu Bintang, yang
sesudah Galilei, Copernicus, Newton, Einsten dll. Mendapat undang yang
sementara boleh dikatakan sempurna.
Bumi kita ini jatuh kepada Ilmu Bumi, Geography dan Ilmu Tanah, Geology,
yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang pula. Perkara yang
berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu Alam. Perkara yang
berhubungan dengan berpaduan beberapa zat, sehingga mendapatkan sifat baru,
termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya memeluk Ilmu Kimia, sekarang
menceraikan dirinya dari Ilmu Listrik, yang sekarang karena besar daerahnya dan
dalam artinya mesti dipelajari sendirinya.
Pemeriksaan atas tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan atas
hewan dan manusia jatuh pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu Hidupnya asal
dan penjelmaannya Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula pada Biology, satu Ilmu
yang boleh dikatakan muda, dan banyak sekali mengandung arti buat kita.
Umpamanya perkara evolusi atau pertumbuhan otak dan Pikiran dari otak binatang
sampai ke otak manusia.
Sudahlah tentu satu Ilmu dengan yang lain, ada seluk beluk dan
perhubungannya, Ilmu Alam dan Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang mempelajari
Ilmu Kedokteran. Begitu pula agriculture, Ilmu Pertanian tak bisa berpisah dari
Ilmu Alam dan Ilmu Kimia tadi. Demikianlah pula seorang Insinyur, jatuh dan
berdiri dengan Ilmu Alam dan Matematika.
Syahdan, maka masing-masing Ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan
pergaulan kita, kemajuan industri, perniagaan dan pesawat terpaksa
dipecah-pecah lagi, terpaksa di-"specialiceer" lagi, terpaksa
dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan begitu perkara yang tiada berkenaan
bisa disingkirkan dan waktu itu boleh dipakai buat memeriksa dan memperdalam
perkara yang diistimewakan itu. Ilmu Kedokteran sudah pecah menjadi kedokteran
umum, perkara gigi, telinga, mata, kanak-kanak dsb. Adalah bahaya buat Science,
kalau pecah-pecahan itu (pada Ilmu yang sudah banyak itu) akan pecah terus,
dengan tidak lagi mengetahui perhubungan satu Ilmu dengan Ilmu yang lain.
Bahaya itu kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat buat
menjauhkannya. Kalau saya tak salah, maka perkataan filsafat sekarang
diterjemahkan juga buat menggambarkan daya upaya mempersatukan Ilmu
bermacam-macam itu, jadi buat memeriksa seluk beluk dan perhubungannya. Dengan
begitu, maka si Scientist, si Ahli mungkin kehilangan hutan, karena sangat
memperhatikan pohon-pohon saja.
Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil
saja. Daya upaya semacam inilah sekarang yang sering diartikan oleh perkataan
filsafat. Bukan lagi sikap yang diambil oleh ahli filsafat purbakala, yang
dengan memangku tangan dan tafakur, bertanyakan: "Apakah artinya Alam dan
apakah artinya pikiran itu?" Demikianlah kalau kita peramati kemajuan Ilmu
Filsafat tadi, maka kita lihat pada Zaman Tengah tahun 478-1492 si pencari
Hakekat dilekati oleh Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak
bisa mencari hakekat itu, kalau persoalan itu tiada digarami, dilimaui
(dijeruki) dan dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu,
pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan "Jasmani dan
Rohani", badan dan pikiran. Sudah lama pula filsafat ini jatuh ke tangan
psychology, Ilmu jiwa, Ilmu yang memeriksa "the working of the mind"
kerjanya otak. Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh si pemikir di atas kursi
malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan ke laboratorium. Disinilah
otak binatang dan manusia dipisah, diperiksa, diexperimentkan, diperalamkan.
Disinilah instinct, yakni pikiran hewan, perasaan, kemauan hewan dan kecakapan
hewan dalam belajar, diperiksa, diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan
akal, perasaan dan kemauan manusia. Experimentalis William James dan Thorndyke
di Amerika, Pavlov di Rusia dan experimentalis yang lain, banyak mengumpulkan
pengalaman yang berharga dan masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan
diuji oleh Ilmu yang muda tetapi sangat menarik hati. "Ketahuilah dirimu
sendiri “. Inilah sari persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang
terkenal ialah Socrates.
Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas "the
working of the mind", kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium
bersama dengan Ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment, pengalaman.
Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi
beberapa ilmu yang berdasarkan experiment.
Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika
dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan
sejarah, ialah sejarah masyarakat Indonesia.
Marx memandang dari sudut pertarungan klas, berkata dalam 11 thesis : Die
Phylosophen haben die Welt nur verschienden interpretiert. Es komt aber
daraufan die Welt zu veraendern. Para ahli filsafat sudah memberi
bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar
(merubah) dunia itu!
untuk dapatkan MADILOG full halaman silahkan kirim email ke adhy.pabala@yahoo.com atau kontak nomor saya 085237234317
Tidak ada komentar:
Posting Komentar