Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara TImur. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten: kabupaten Sumba Barat, kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, danKabupaten Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga terdapat bandar udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor.
Masyarakat Sumba secara rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanosoid. Sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan animisme Marapu dan agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Kaum muslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir.
Sumba memberikan panorama kontras yang unik. Di satu sisi, tawaran dunia modern tak terelakkan dan terpaksa berhadapan dengan warisan tradisi masa lalu yang sangat kental di sisi yang lain.
Sumba ternyata bukan sekadar padang sabana, yang akrab dengan ringkikan kuda sandel. Juga, bukan sekadar menawan mata ketika kaum pria mempertontonkan kemahiran berkuda, dengan tubuh duduk tegap di punggung kuda mengiring ternak gembalaannya.
Pulau yang dikenal sebagai Pulau Sandelwood ini menyimpan situasi kontras yang tampak di Waikabubak, Ibukota Kabupaten Sumba Barat. Sepintas, kota ini tak berbeda dengan kota kabupaten lain di NTT. Sejumlah ruas jalan sudah licin berlapis hotmix, yang meliuk-liuk di bawah perbukitan. Namun, kalau kaki berbelok arah untuk menapaki bukit, di sana akan ditemui kehidupan dengan deretan rumah tradisional yang seolah tak terjangkau perubahan zaman.
Di kota ini, ada sejumlah kampung tua yang bisa dinikmati keasliannya, seperti Kampung Tarung, Tambelar, Dessa Elu, Bodo Ede, dan Kampung Paletelolu. Kampung Tarung, misalnya, merupakan kampung tua yang terletak persis di jantung kota. Sama dengan yang lain, kampung ini dipenuhi dengan deretan rumah menara beratap ilalang, rumah tradisional khas Sumba. Rumah tradisional Sumba terdiri dari tiga bagian. Lantai paling dasar merupakan kandang ternak (kuda). Kemudian, lantai dua merupakan tempat keluarga, tempat tidur dan perapian terletak persis di bagian tengah. Sedangkan, bagian menara merupakan gudang atau tempat menyimpan persediaan pangan.
Nuansa jmn dulu jdi sempurna ketika rumah tradisional itu berpadu dengan kuburan batu, yang mengingatkan kehidupan masa megalitikum—zaman batu besar—salah satu babak zaman prasejarah. Tak salah lagi, Sumba merupakan surga bagi peneliti megalit.
Di setiap sudut kota dan kampung Juragan2 semua dpt dgn mudahnya menemukan menhir—batu besar seperti tiang atau tugu yang ditegakkan di tanah, sebagai tanda peringatan dan lambang arwah nenek moyang. Begitu juga dolmen—monumen prasejarah berupa meja batu datar yang ditopang tiang batu, dalam berbagai ukuran sangat mudah dijumpai di setiap kampung.
Berbagai ornamen masa lalu itu tidaklah berdiri sendiri, melainkan terkait erat kehidupan sebagian masyarakat Sumba yang menganut agama tradisional Marapu. Marapu merupakan agama asli orang Sumba sebelum disentuh pengaruh agama Kristen. Kini, komunitas Marapu semakin terdesak seiring tak ada jaminan dari negara akan eksistensi dari keyakinan di luar enam agama resmi negara. Meski tanpa pengakuan dari negara, komunitas Marapu tetap eksis dalam menjalankan upacara keagamaan, termasuk upacara kelahiran, perkimpoian, kematian, dan syukuran. Bahkan, komunitas Marapu di wilayah Kota Waikabubak mengenal adanya wula podu (bulan suci) selama satu bulan sekitar Oktober dan November setiap tahun.
Upacara perkimpoian tidak kalah menyimpan daya tarik Gan. Namun, ini membutuhkan keberuntungan wisatawan untuk menyaksikan upacara perkimpoian, terutama ketika terjadi pembicaraan mengenai belis (mas kimpoi). Sebab, belis dalam rupa ternak itu bisa mencapai puluhan ekor kuda, kerbau dan sapi yang harus diserahkan ke keluarga perempuan. Apalagi, kalau perkimpoian itu melibatkan kaum “darah biru”.
Selain upacara wula podu, komunitas Marapu di Sumba Barat juga mempunyai upacara adat pasola, yang sangat atraktif. Sama dengan wula podu, pagelaran pasola dilakukan berdasarkan perhitungan kaum tetua adat. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi wisatawan untuk merencanakan perjalanan.
Pasola merupakan perang berkuda yang melibatkan dua kelompok besar pasukan berkuda dan saling menyerang dengan senjata lembing kayu. Pasola digelar sekali dalam setahun, antara Pebruari dan Maret di empat wilayah di Sumba Barat, yakni di Wanokaka, Lamboya, Gaura dan Kecamatan Kodi.
Pulau Sumba sesungguhnya bukan hanya menawarkan wisata budaya saja Gan. Pesona alamnya pun tak kalah memikat. Setelah letih menyaksikan objek budaya, Juragan2 & Agan2wati bisa menyegarkan diri dengan menyaksikan keindahan maupun melakukan aktifitas lain seperti mengandarai kuda di pantai Nihiwatu, memancing, menyelam, mengamati burung, bersepeda hingga trekking ke air terjun Nihiwatu yang menawarkan panorama yang alami.
Oia, Gaan…Sumba pun juga tidak luput dari keindahan kain Khasnya looh, sdh pada tau blm Agan2 sekalian ? Kerajinan kain tenun ikat ini telah terkenal sejak ratusan tahun. Nah, ternyata ada dua kelompok pengrajin. Yang pertama adalah yang menggantungkan seluruh penghasilannya pada pekerjaannya dan yang kedua melakukannya hanya sebagai kerjaan sambilan. Seniman sambilan ini umumnya adalah mereka yang secara sosial masih memiliki fungsi adat seperti kaum bangsawan (maramba). Walaupun merupakan hasil sambilan, tenun jenis ini bermutu tinggi karena sebenarnya tenunan tersebut bukanlah barang dagangan, hanya sebagai koleksi atau digunakan dalam upacara adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar