Tradisi Pasola adalah sejenis permainan “perang-perangan” ala Sumba, secara tradisi adat Sumba bagi penganut kepercayaan lokal Marapu disebut Pasola. Pasola adalah permainan “perang-perangan” antardua kelompok “pasukan” berkuda yang berbeda dan saling berhadapan satu sama lainnya dengan saling melempar lembing yang ujungnya tumpul (baca: tidak lancip/runcing!) atau “tombak kayu” di area padang savana. Setiap kelompok terdiri lebih dari antara 100-200 orang pemuda “bersenjatakan” tombak tumpul yang dibuat dari kayu - berdiameter kurang lebih 1,5 cm. Lembing demi lembing dilempar ke arah lawan dengan tujuan agar terkucur darah lawan, pertanda demi kemakmuran tanah. Yang kena lempar tak boleh marah atau dendam. Suasana saling baku lempar lembing dalam Pasola, sambil diiringi pekikan kuda dan sorak-sorai penonton, dan … woow… kegembiraan menggema saat lembing mengenai sasaran di bagian tubuh lawan.
Secara etimologis (asal kata), kata “Pasola” berasal dari kata “sola“ atau “hola“, maknanya sebuah “tombak kayu” atau “lembing“. Setelah mendapat imbuhan “pa” menjadi paduan kata”pasola” atau “pahola“, yang berarti (sejenis) permainan uji ketangkasan dengan cara menggunakan dan melemparkan lembing ke arah depan atau lawan yang saling berhadap-hadapan antar muka.
Hingga sekarang (2011) pelaksanaan tradisi Pasola tetap berlangsung dalam agenda tahunan, dan menjadi festival guna promosi pariwisata, yang oleh Pemerintah Kabupaten setempat, yakni Pemkab Sumba Barat untuk Pasola di Lamboya, Wanukaka, dan Gaura. Sedangkan di Kabupaten Sumba Barat Daya, di kawasan Kodi ada lima tempat: Homba Kalayo, Bondo Kawango, Rara Winyo, Waiha, dan Wainyapu. Bulan sama, antara Februari - Maret.
Bermula dari kisah janda Rabu Kaba dan jejaka Teda GaiparonaBerdasarkan referensi secukupnya tentang Pasola dan latar belakangnya yang saya peroleh dan kemudian diolah dari berbagai sumber, dapat disarikan berikut ini. Pasola merupakan tradisi unik, dan hanya ada di tanah Sumba. Pasola sebelum menjadi tradisi tahunan sampai dengan sekarang, bermula dari kisah asmara sang janda cantik jelita, Rabu Kaba. Dia adalah istri sah dari Umbu Dula. Suami Rabu Kaba, Umbu Dula adalah tokoh pimpinan warga Waiwuang. Kepemimpinan kampung Waiwuang dipegang bersama oleh Umbu Dula dan dua saudaranya bernama Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Dikisahkan, tiga orang pimpinan kampung Waiwuang itu bermaksud pergi melaut, kemudian berpamitan kepada warganya di kampung Waiwuang. Kemudian, ternyata dalam melaut itu, arah kepergiannya mengarah ke daerah selatan Pantai Sumba Timur yang bermaksud mengambil padi. Kepergian Umbu Dula dan dua saudaranya itu sangat ditunggu kepulangannya oleh seluruh warga Waiwuang, namun seiring berlalunya waktu, toh mereka tidak kembali pulang kampung. Akhirnya, sebagian warga Waiwuang berusaha mencari tempat keberadaan mereka, tapi hasilnya nihil, keberadaan mereka tidak dikethui pasti. Sekembalinya dari upaya pencarian tersebut, akhirnya segenap warga Waiwuang bersepakat untuk mengadakan upacara ritual perkabungan, dan menganggap Umbu Dula dan dua saudaranya itu telah meninggal dunia. Dan, istri sah Umbu Dula, Rabu Kaba beroleh status janda.Singkat cerita, Rabu Kaba sang janda cantik itu ternyata (secara diam-diam) menjalin cinta asmara dengan Teda Gaiparona, seorang pemuda tampan dari Kampung Kodi (sekarang termasuk Sumba Barat Daya). Menurut ketentuan adat setempat, percintaan janda dan pemuda lajang itu dilarang, namun akhirnya janda Rabu Kaba dan jejaka Teda Gaiparona sepakat melakukan kawin lari. Rabu Kaba dibawa lari oleh Teda Gaiparona menuju ke kampungya, di Kodi. Siapa sangka kemudian?, ternyata setelah kejadian kawin lari itu, datang pulang ke kampung Waiwuang si Umbu Dula dan dua saudaranya Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Umbu Dula diberitahu kabar bahwa Rabu Kaba telah dibawa (kawin) lari oleh Teda Gaiparona dari kampung Kodi.Kemarahan Umbu Dula dan dua saudaranya serta segenap warga kampung Waiwuang menjadikan perselisihan antarkampung, Waiwuang dan Kodi. Umbu Dula sebagai suami Rabu Kaba, yang didukung oleh dua saudaranya bersama segenap warga kampung Waiwuang berusaha meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona yang telah melarikan Rabu Kaba. Akhirnya, kesepakatan bersama pun terjadi, bahwa Teda Gaiparona harus mengganti dengan belis(mas kawin, mahar) untuk keluarga Rabu Kaba dari pihak keluarga Umbu Dulla. Setelah semua belis dipenuhi oleh Teda Gaiparona dan diserahkan, barulah pernikahan secara adat dapat dilaksanakan. Seusai perhelatan pernikahan tersebut, Teda Gaiparona berpesan agar warga melaksanakan ritual Pasola. Maksudnya, dengan cara ritual Pasola tersebut, dikemudian hari ini sangat diharapkan dendam antara kampung Waiwuang dan kampung Kodi dapat dilepaskan (baca: semacam ritual penebusan) dengan permainan “perang-perangan” dan adu ketangkasan melempar lembing dari atas kuda, yang hingga sekarang dikenal sebagai tradisi Pasola!Tradisi Pasola pada hakikatnya merupakan bagian dari ritual kepercayaanMarapu, yang bagi para penganut kepercayaannya bersendikan pada elemen alam terpenting, yaitu demi menjaga keharmonisan antara manusia (yang masih hidup di dunia kini) dengan leluhur atau nenek moyangnya. Inti kepercayaan Marapu, bahwa arwah nenek moyang sebagai leluhurnya adalah pembawa kesuburan dan kemakmuran bagi mereka. Maka, tradisi Pasola, dengan permainan “perang-perangan” dan uji ketangkasan antara dua kelompok “pasukan” berkuda yang berbeda dan saling berhadapan (vis a vis) satu sama lain sebagai “lawan tanding”.Lazimnya, tradisi Pasola diselenggarakan sebagai puncak seremoni adat yang disebut “Nyale“, yakni upacara ritual adat untuk memohon restu para dewa dan arwah nenek moyang sebagai leluhurnya, dengan maksud agar (hasil) panen pada tahun tersebut berhasil dengan baik.
Uniknya lagi, waktu penyelenggaraan dan penentuan hari “H” dalam tradisi Pasola tersebut sangat bergantung pada hitungan para Rato, yaitu semacam tua-tua atau tetua adat, yang bagi mereka para penganut kepercayaan Marapu, berwenang menafsirkan berbagai tanda-tanda alam dalam dimensi makrokosmos, termasuk tafsir terhadap siklus peredaran bulan (yang mengelilingi planet bumi). Perhitungan dan hasil tafsir para Rato tersebut, konon tidak pernah meleset, alias selalu tepat perhitungannya. Mau bukti? Yach … ternyata pada setiap hari pelaksanaan Pasola, di tepian pantai kawasan bagian selatan Sumba Barat biasanya terdapat banyak nyale (cacing laut) sebagai tanda dimulainya permainan Pasola. Dalam kalender Masehi, Pasola diselenggarakan antara bulan Februari - Maret di beberapa tempat di Kabupaten Sumba Barat (Lamboya, Wanukaka, dan Gaura).
Terdengar derap-derap kaki kuda berikut ringkiannya yang bergemuruh dan menggema di arena tanah lapang Pasola, serta sorak-sorai penonton maupun di dua kelompok yang saling berhadapan tersebut. Dalam video tadi jelas terdengar suasana gemuruh ini. Juga pekikan “payau” para penonton perempuan dari dua kelompok masing-masing yang bermaksud memberi semangat juang kepada para “ksatria” berkudanya, harapannya agar lemparan lembingnya tepat mengenai sasaran di bagian tubuh lawan tandingnya.
Meskipun tongkat dalam permainan Pasola tetap dibiarkan tumpul, tak jarang permainan ini melukai para pesertanya, bahkan bisa memakan korban jiwa. Darah yang mengucur di arena Pasola dianggap bermanfaat bagi kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Sementara apabila terdapat korban jiwa, maka korban tersebut dianggap mendapat hukuman dari para dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran. Para peserta yang terkena lembing—jika memungkinkan—dapat membalasnya di arena ini. Akan tetapi jika pertandingan telah usai, sementara peserta masih penasaran untuk membalas terjangan tongkat lawan, maka ia harus bersabar untuk menunggu Pasola pada tahun berikutnya. Sebab, dalam Pasola tidak dibenarkan untuk mendendam, apalagi melakukan pembalasan di luar arena Pasola. Dan … tentu saja, untuk “membalas” ya musti tunggu satu tahun kemudian di ajang tradisi yang sama.
Pelaksanaan Pasola sendiri sebetulnya merupakan bagian dari ritual kepercayaan Marapu (kepercayaan lokal masyarakat Sumba). Dalam kepercayaan Marapu, elemen (makrokosmos) terpenting adalah menjaga keharmonisan antara manusia dengan nenek moyangnya. Mereka percaya, arwah nenek moyang sebagai leluhurnya adalah pembawa kesuburan dan kemakmuran bagi mereka. Nah, permainan Pasola biasanya diadakan sebagai puncak dari Pesta Adat Nyale, yaitu upacara adat untuk memohon restu para dewa dan arwah nenek moyang agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik.
Pelaksanaan menjelang tradisi Pasola tersebut, dengan pesta adat “Nyale” diawali pada malam hari yaitu pada hari malam “H-1″ diawali dengan pencarian Nyale (sejenis cacing laut) pada malam sebelum pelaksanaan Pasola. Banyaknya Nyale yang dikumpulkan dipercaya sebagai pertanda panen berhasil. Sebaliknya, apabila hanya sedikit cacing yang tertangkap, maka panen kemungkinan (bisa) gagal. Misalnya, ada tanda-tanda tertentu, seperti menangkap (hanya) tujuh ekor nyale saja yang harus diambil, tanda-tanda nyale di tujuh ekor ini saling berbeda, jika berwarna belang, pertanda bisa panen atau kemungkinan tidak bisa panen. Pelaksanaan Nyale merupakan saat penting yang dapat menentukan hasil panenan mereka satu tahun berikutnya.
Waktu penyelenggaraan Pasola sangat bergantung pada hitungan para tetua adat (Rato) yang menafsirkan berbagai tanda-tanda alam, termasuk peredaran bulan. Perhitungan para Rato ini konon tidak pernah meleset. Buktinya, setiap hari pelaksanaan Pasola, di tepi pantai biasanya terdapat banyak nyale (cacing laut) sebagai tanda dimulainya permainan Pasola. Dalam kalender Masehi, Pasola diadakan antara bulan Februari hingga Maret di beberapa tempat di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Lamboya, Wanukaka. Sedangkan di Sumba Barat Daya, di lima tempat pelaksanaan tradisi Pasola.
PASOLA di Sumba Barat DayaDinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat DayaBermula, dari para Rato yang secara adat di daerah Kabupaten Sumba Barat Daya yang berunding yang kemudian melakukan pertemuan bersama denganpihak Kepala Desa, Camat, Danramil dan Kapolsek setempat serta Kelompok Daerah Wisata, maka pelaksanaan tradisi Pasola tahun 2011 ditetapkan berlangsung di lima tempat antara bulan Februari-Maret 2011. Pada bulan Februari 2011 di Homba Kalayo (24) yang bersamaan dengan waktu tradisi Pasola di Wanukaka, Sumba Barat; diBondo Kawango (27) dan Rara Winyo (28). Untuk Pasola pada bulanMaret 2011 di Waiha (25) dan di Wainyapu (26).Jauh sebelum Pelaksanaan Pasola, berbagai ritual adat sudah dijalankan, yakni Sabtu siang, 22 Januari 2011 telah dilaksanakan Kawoking yaitu sejenis tinju atau gulat lokal yang berlangsung di pantai Bokubani dan pantai Tossi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar